Kamis, 19 Mei 2016

Ayo wisata ke Kota Baubau di Pulau Buton

8 Tempat Wisata Menarik di Kota Baubau, Buton

Disadur dari http://www.yukpiknik.com/destinasi/wisata-kota-baubau/December 17th, 2015 by Imron Saputra 

Friends Added
benteng kraton buton Pulau Buton di Sulawesi Tenggara sangat terkenal dengan produk aspalnya. Untuk penggemar Traveling, Pulau Buton juga menawarkan keindahan yang membuatnya menarik untuk dikunjungi.
Pulau Buton terdiri atas beberapa wilayah, termasuk Kabupaten Wakatobi yang terkenal dengan taman lautnya yang memiliki keindahan tak terkira. Selain Kabupaten Wakatobi, Kota Baubau juga merupakan destinasi yang menarik untuk dikunjungi di Pulau Buton. Disana kita akan menemukan berbagai tempat wisata menarik mulai dari wisata sejarah hingga wisata pantai
Salah satu tempat wisata paling terkenal di Baubau adalah Benteng Keraton Buton. Benteng ini menjadi semakin terkenal setelah pada bulan September 2006 MURI menetapkannya sebagai benteng terluas di Indonesia. Luas benteng ini sekitar 23,375 hektare
Tentu saja, Benteng Keraton Buton bukanlah satu-satunya objek wisata yang bisa kita kunjungi di Baubau. Masih ada beberapa tempat menarik yang bisa kita kunjungi di Baubau. Berikut ini adalah beberapa diantaranya

1. Pantai Nirwana

Pantai Nirwana baubau
Foto: http://mamansetiawan.blogspot.co.id/
Pulau Sulawasi dikenal memiliki dunia bawah laut yang aduhai. Pesona pantai di Sulawasi juga tak kalah cantik. Di Baubau, ada sebuah pantai cantik berpasir putih yang menjadi salah satu idola warga di sana yakni Pantai Nirwana. Pantai ini memiliki panjang sekitar 4 km. Air lautnya sangat biru dengan pasir putih yang mulus
Pantai Nirwana sangat mudah diakses. Pantai ini bisa ditempuh dengan berkendara sekitar 15 menit saja dari pusat kota Baubau. Tak heran kalau pantai ini selalu ramai dikunjungi wisatawan baik lokal maupun dari luar Baubau

2. Pantai Kamali

Pantai Kamali
Kredit foto
Jika di Makassar ada Pantai Losari maka di Baubaru ada Pantai Kamali. Pantai ini memiliki suasana yang kurang lebih sama seperti di Losari di mana di area dekat pantai terdapat semacam alun-alun. Di tengah-tengah alun-alun tersebut terdapat monumen naga yang merupakan maskot dari Kota Baubau. Di sana kita bisa menikmati suasana pantai sambil memesan jajanan murah meriah
Di pinggiran pantai Kamali ini terdapat banyak sekali warung makan. Mengunjungi pantai ini pada sore hari menjadi pilihan yang sangat tepat untuk menikmati suasana yang indah. Pantai Kamali juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas, termasuk hotspot yang bisa digunakan untuk ngeksis di sosmed

3. Pantai Lakeba

Pantai Lakeba
Featured image
Pantai Lakeba juga tidak kalah menarik untuk dikunjungi. Di pantai ini terdapat sebuah dermaga kayu yang menjorok ke laut yang membuatnya sangat Instagramable. Kita bisa duduk-duduk manis di pinggiran pantai atau berpose di dermaga tersebut untuk pamer foto sedang di Pantai Lakeba
Pantai Lakeba juga menarik untuk dikunjungi pada malam hari. Lampu-lampu kecil dari kapal penangkap ikan yang lalu lalang menjadi pemandangan yang indah untuk disaksikan sambil duduk manis di pinggir pantai. Di kawasan pantai juga ada cafe-cafe serta tempat karaoke sebagai tempat nongkrong. Tidak mau kalah dengan Bali

4. Bukit Palatiga

Bukit Palatiga
Foto: http://mamansetiawan.blogspot.com
Bukit Palatiga adalah tempat yang sangat menarik untuk menikmati pemandangan perairan di bagian selatan Pulau Buton. Bukit ini telah dikembangkan sedemikian rupa dan sangat pas untuk menikmati pemandangan laut, terutama pada sore hari. Terdapat undakan-undakan serta tiang-tiang lampu yang membuatnya terlihat lebih indah. Dari atas sini, kita bisa menikmati embusan angin yang sepoi-sepoi sembari mengarahkan pandang ke laut lepas. Lokasi bukit ini berjarak sekitar 2 km saja dari pusat kota Baubau

5. Gua Lakasa

Gua_Lakasa_BauBau
Foto: http://www.travelmatekamu.com/
Di Baubau juga ada gua. Salah satu yang cukup terkenal adalah Gua Lakasa. Gua ini memiliki daya tarik berupa air yang mengkristal yang letaknya berada pada kedalaman sekitar 120 m. Di kubangan air tersebut kita bisa merasakan sensasi berenang di dalam gua. Pemandangan stalaktit dan stalakmit yang dimiliki gua ini juga tidak kalah keren. Lokasi gua sendiri berjarak sekitar 9 km dari pusat Kota Baubau. Tepatnya di Kecamatan Betoambari

6. Air Terjun Samparona

Air Terjun Samparona
Foto: http://mamansetiawan.blogspot.co.id/
Di Baubau juga ada wisata air terjun. Salah satunya adalah Air Terjun Samparona. Lokasi air terjun ini berada di kecamatan Sorawolio, sekitar 13 dari pusat kota Baubau. Sebagaimana air terjun pada umumnya, Samparona juga terletak di alam terbuka dengan suasana alam yang indah. Untuk bisa sampai ke lokasi air terjun ini para pengunjung akan berjalan melewati jalanan setapak di antara perkebunan dan persawahan penduduk. Air terjun ini memiliki tinggi sekitar 100 meter dengan debet air sedang

7. Air Terjun Tirtarimba


Foto: https://tarfantik11.wordpress.com/
Selain Air Terjun Samparona, Baubau juga masih punya Air Terjun Tirtarimba yang tidak kalah keren. Air terjun ini memiliki bentuk yang unik. Dilihat dari kejauhan bentuknya mirip sebuah payung. Air terjun ini breada di sebuah hutan lindung yang berjarak sekitar 6 km dari pusat kota Baubau. Tidak terlalu tinggi namun cukup lebar dan unik. Suasana di sekitar air terjun juga sangat segar

8. Keraton Kerajaan Buton

benteng kraton buton
Foto: https://syair79.wordpress.com
Last but not least, tempat wisata yang tidak boleh dilewatkan di Baubau tentu saja adalah Benteng Keraton Buton. Tempat wisata sejarah ini dulunya merupakan ibukota Kesultanan Buton. Benteng ini memiliki arsitektur yang cukup unik. Materialnya berupa batu kapur dengan bentuk melingkar dengan panjang keliling sekitar 2.740 meter. Pada bulan September 2006 benteng ini mendapat penghargaan dari MURI sebagai benteng terbesar di Indonesia dengan luas sekitar 23,375 hektare.
Benteng ini memiliki 12 pintu gerbang yang disebut Lawa dan 16 emplasemen meriam yang disebut Baluara. Lokasi benteng ini berada di atas bukit yang cukup terjal. Dari benteng ini kita bisa menyaksikan pemandangan Kota Baubau dari ketinggian

Minggu, 03 April 2016

MEDIA SOSIAL DAN KONSERVASI SATWA LIAR (Studi Kasus Di Indonesia)

A.  Pendahuluan

Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Pendapat lain mengatakan bahwa media sosial adalah media online yang mendukung interaksi sosial dan media sosial menggunakan teknologi berbasis web yang mengubah komunikasi menjadi dialog interaktif.  Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai “sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content”.  Jejaring sosial merupakan situs dimana setiap orang bisa membuat web page pribadi, kemudian terhubung dengan teman-teman untuk berbagi informasi dan berkomunikasi  (Wijayanti, 2015).
Perkembangan media sosial di dunia khususnya Indonesia semakin berkembang pesat sejak didukung infrastruktur baik dari perangkat, jaringan internet maupun teknologi. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) di tahun 2012, 63 juta masyarakat Indonesia terhubung dengan Internet dan sebanyak 95 persen aktivitas akses dunia maya adalah membuka media sosial. Indonesia saat itu diramal akan menjadi pengguna media sosial paling aktif dan dari segi jumlah paling besar. Mengapa ini bisa terjadi, dikarenakan mobile internet yaitu web perangkat mobile dan harga smartphone semakin terjangkau buat semua kalangan.  Sejak diperkenalkan The Third Screen (layar ketiga) oleh Apple Corp. yaitu dengan kehadirian Iphone di tahun 2007 dan Ipad (kategori Phablet) di tahun 2010, semakin mempopulerkan istilah ini. The third screen adalah peranti yang digunakan oleh telepon selular yang memiliki perangkat komputasi portable. Phablet adalah gabungan fungsi telepon dan tablet yang merupakan telepon pintar yang memiliki ukuran lebih dari besar dari handphone yang berkisar 5 dan 8 inchi. Istilah ini merupakan bagian dari perkembangan dan kemajuan teknologi di bidang infrastruktur dan jaringan komunikasi, sehingga makin meningkatkan perkembangan media sosial di tanah air Indonesia. Dari usia tua, muda, remaja dan anak setidaknya memegang salah satu alat teknologi ini untuk keseharian mereka dan menjadi barang utama dan menemani keseharian (Anonim, 2015). 
Saat ini media sosial tidak hanya sebatas berfungsi sebagai alat komunikasi saja, tetapi telah menjadi alat multi fungsional yang dapat digunakan untuk menunjang kebutuhan hidup manusia baik itu berupa pekerjaan rutinitas, bisnis, makan, belanja, konseling, pengobatan dan fungsi lainnya. Sehingga hampir dipastikan bahwa umumnya masyarakat saat ini khususnya pengguna mobile handphone, gadget dan sejenisnya tidak bisa lepas dari aktifitas media sosial.  Begitu pesatnya laju perkembangan media sosial terhadap masyarakat sehingga pengaruhnya begitu terasa terhadap perilaku dan budaya masyarakat dunia khususnya di Indonesia.  Perilaku selfie dan curhat (curahan hati) di media sosial merupakan perilaku masyarakat yang saat ini paling banyak dilakukan oleh masyarakat sehingga terkadang tidak terkendali dan melanggar nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.  Pengaruh media sosial yang begitu besar terhadap perilaku dan budaya masyarakat ternyata ikut berimbas pula pada kehidupan makhluk hidup lainnya seperti tumbuhan dan hewan.  Sama halnya dengan manusia, pengaruh atau dampak media sosial terhadap tumbuhan dan hewan dapat berdampak positif maupun negatif.  Salah satu kelompok hewan atau satwa yang terkena dampak dari perkembangan media sosial adalah kelompok satwa liar yaitu jenis-jenis hewan atau satwa yang hidup liar di alam dan tidak terdomestifikasi. 
Satwa liar merupakan salah satu kelompok satwa yang sangat rentan dengan aktifitas atau kegemaran manusia seperti berburu, memelihara dan menangkarkan satwa liar.  Perilaku berburu dan memelihara satwa liar yang dilakukan manusia merupakan budaya yang telah dilakukan sejak manusia membutuhkan sumber makanan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.  Namun seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pergeseran tujuan perburuan dan memelihara satwa liar yang dilakukan oleh manusia yaitu dari kebutuhan untuk sumber makanan menjadi sekedar pemenuhan hobi, kegemaran, olahraga, sebagai bahan obat/kosmetik dan menunjukan status sosial.   Makin meningkatnya perkembangan teknologi seperti bidang komunikasi yaitu internet dan mobile handphone dan sejenisnya khususnya jaringan media sosial berdampak pada aktifitas perburuan dan memelihara satwa liar.  Dampak media sosial terhadap satwa liar baik langsung maupun tidak langsung dapat memberikan dampak positif maupun dampak negatif bagi kelestarian satwa liar.     
B.  Dampak  Positif Media Sosial Terhadap Konservasi Satwa Liar
Media sosial baik secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan dampak positif bagi kelestarian satwa liar.  Dampak positif tersebut antara lain sebagai media penyuluhan dan sosialisasi konservasi satwa liar dan sebagai media pengawasan dan pengontrol peredaran, perdagangan dan perburuan satwa liar.
1.    Sebagai media penyuluhan dan sosialiasi konservasi satwa liar
Foto kucing hutan, satwa dilindungi, hasil buruan yang diunggah di akun Ida Tri Susanti. Sumber: Facebook
Media sosial saat ini merupakan salah satu media komunikasi massa yang sangat efektif dalam memberikan informasi dan penyuluhan terhadap masyarakat karena hampir sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini menggunakan media sosial sebagai sarana komunikasi.  Data pengguna media sosial di Indonesia yang di rilis oleh  Jaringan We Are Social pada tahun 2014 sebanyak ± 71 juta jiwa pengguna atau sekitar 28 % dari jumlah penduduk Indonesia. Data tersebut menunjukan jumlah yang sangat besar dalam mengkampanyekan gerakan peduli kelestarian satwa liar dan anti perdagangan dan perburuan satwa liar.  Namun sayangnya, kampanye-kampanye  peduli kelestarian satwa liar dan anti perdagangan dan perburuan satwa liar belum banyak digunakan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, akademisi dan lembaga-lembaga sosial masyarakat yang peduli dengan kelestarian satwa liar. 
Informasi-informasi dan kampanye tentang kelestarian satwa liar justru terkalahkan dengan maraknya informasi terkait dengan perdagangan satwa liar dan aksi-aksi perburuan satwa liar di media sosial.  Oleh karenanya diperlukan komitmen yang serius dan konsisten serta terpadu dari seluruh stake holder yang berkompeten dengan kelestarian satwa liar untuk melakukan langkah-langkah pencegahan dan penindakan terhadap peredaran dan perburuan satwa liar. Langkah-langkah pencegahan dapat dilakukan dengan meningkatkan kampanye peduli satwa liar di media sosial dengan bekerjasama dengan perusahaan penyedia jasa media sosial sepert facebook, twitter, olx, dan sejenisnya untuk menyediakan ruang atau media sosialiasi dan penyuluhan satwa liar dan memblokir iklan-iklan atau aksi-aksi perburuan satwa liar oleh para pengguna media sosial.  Sebagai contoh kasus pada situs toko bagus.com, berniaga.com (saat ini berubah nama menjadi olx) dan kaskus sebelum tahun 2012 sering mengiklankan perdagangan satwa liar namun sejak lembaga Pro Fauna melakukan komunikasi dicapai kesepakatan untuk tidak mengiklankan perdagangan satwa liar hingga saat ini.  Iklan-iklan peduli satwa liar seharusnya juga dapat menjadi bagian dalam sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat khususnya pengguna media sosial.

2.    Sebagai media pengawasan dan pengontrol peredaran, perdagangan dan perburuan satwa liar.
Peredaran, perdagangan dan aksi perburuan satwa liar melalui media sosial diklaim oleh beberapa pihak semakin meningkat selama 10 tahun terakhir.  Oleh karenanya diperlukan mekanisme atau regulasi yang mengatur pengawasan dan penindakan terhadap peredaran, perdagangan dan aksi perburuan satwa liar melalui media sosial. Media sosial selain sebagai media peredaran, perdagangan dan aksi perburuan satwa liar juga sekaligus dapat berfungsi sebagai media pengawasan dan pengontrol peredaran, perdagangan dan aksi perburuan satwa liar.  Beberapa kasus terkait peredaran, perdagangan dan aksi perburuan satwa liar melalui media sosial telah behasil diungkap dan diproses hukum berkat adanya informasi awal dari media sosial.  Penegakan hukum sangat diperlukan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku peredaran, perdagangan dan aksi perburuan satwa liar melalui media sosial. Oleh karenanya diperlukan sosialisasi dan penyuluhan kepada seluruh masyarakat khususnya pengguna media sosial untuk ikut serta melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap peredaran, perdagangan dan aksi perburuan satwa liar. Dengan teknologi yang semakin canggih saat ini, kejadian atau tindakan kejahatan yang terjadi di suatu daerah dapat langsung direkam atau dilaporkan ke pihak yang berwenang melalui media sosial.  Oleh karenanya, peran media sosial juga sangat vital dalam membantu upaya pencegahan, pengawasan dan penindakan terhadap peredaran, perdagangan dan aksi perburuan satwa liar. 
           
C.  Dampak Negatif Media Sosial Terhadap Konservasi Satwa Liar
Peredaran, perdagangan dan perburuan terhadap satwa liar saat ini semakin meningkat dengan menggunakan media sosial sebagai alat bantu dalam memperjualbelikan dan  mempromosikan atau memamerkan dagangan dan hasil buruan satwa liar.  Berdasarkan data ProFauna mencatat ada 3640 iklan di media sosial sepanjang tahun 2014 yang menawarkan satwa liar dengan berbagai jenis, antara lain elang jawa, siamang, surili, nuri merah kepala hitam, nuri bayan, kancil (Tragulus javanicus), trenggiling (Manis javanica), kijang (Muntiacus mutjack), kucing hutan (Prionailurus bengalensis), lutung jawa (Trachypithecus auratus), kukang (Nycticebus sp), elang jawa (Nisaetus bartelsi), elang hitam (Ictinaetus malayensis), kakatua raja (Probosciger atterimus) dan kakatua seram (Cacatua molucensis) dan jenis satwa liar lainnya baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi. Pada tahun 2015 Pro Fauna juga mencatat setidaknya ada 5000 kasus perdagangan satwa secara online dan salah satunya menggunakan media facebook, atau terjadi peningkatan iklan di media sosial sebanyak 1360 iklan dari tahun 2014. Data ini menunjukan fakta yang cukup mengkhawatirkan  terhadap meningkatnya aktifitas perdagangan satwa liar melalui media sosial setiap tahunnya. Bisa dibayangkan betapa banyak jumlah satwa liar yang diperdagangkan  melalui media sosial, belum lagi perdagangan yang dilakukan secara langsung di pasaran  khususnya bagi satwa liar yang tidak dilindungi.  Kondisi tersebut tentunya sangat mengancam kelestarian satwa liar di Indonesia jika tidak ada upaya pencegahan dan penindakan yang serius dan intensif dari aparat yang berwenang maka dikhawatirkan akan semakin banyak satwa liar yang terancam punah.
Perdagangan satwa liar melalui media sosial semakin meningkat karena disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
1.    Media sosial sangat familiar dan mudah diakses dan digunakan transaksi oleh pelaku atau penjual maupun pembeli satwa liar;
2.    Perdagangan satwa liar di media sosial tidak membutuhkan biaya alias gratis;
3.    Transaksi perdagangan satwa liar relatif lebih aman dari pantauan petugas yang berwenang dan identitas pelaku yang tidak dapat atau mudah diketahui;
4.    Pengawasan dan penindakan dibidang cyber crime dari aparat penegak hukum yang masih kurang;
5.    Masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian satwa liar.
 Aktifitas masyarakat lainnya terhadap satwa liar yang akhir-akhir ini sering meresahkan di media sosial adalah meningkatnya aksi pamer hasil perburuan terhadap satwa liar.  Berbagai kasus yang mencuat di media sosial merupakan bagian dari “ demam  Selfi “ para netizen atau masyarakat yang aktif di media sosial dengan tujuan untuk memamerkan segala bentuk aktifitas yang tanpa disadari melanggar norma-norma atau etika bahkan hukum sekalipun khususnya dalam kasus perburuan satwa liar.  Para netizen seakan-akan merasa bangga dan berlomba-lomba untuk selalu mengunggah aksi kontroversial terkait dengan perburuan satwa liar.  Aksi-aksi tersebut tentunya akan semakin marak dilakukan jika tidak mendapat penindakan dan pengawasan dari aparat yang berwenang.  Satwa liar akan semakin terancam dari kepunahan sebagai akibat dari aksi-aksi perburuan dengan tujuan untuk             “gagahan”  atau pamer di media sosial.  Perburuan satwa liar yang sifatnya untuk di konsumsi dan diperdagangkan saja sudah sangat mengkhawatirkan terhadap kelestarian satwa liar, apalagi jika ditambah dengan tujuan hanya sekedar untuk dipamerkan di media sosial. 
Selama Tahun 2015, ProFauna Indonesia mencatat menerima ± 200-an pengaduan perburuan liar,  sekitar 90 persen pengaduan yang dilaporkan tentang foto aksi perburuan dan hasil perburuan satwa yang diunggah di media sosial. Foto yang diunggah umumnya menampilkan pelaku membawa satwa hasil buruan dan senjata yang digunakan. Dari 90 % laporan tersebut, Pro Fauna mencatat terdapat sekitar empat kasus perburuan online yang berlanjut di tingkat kepolisian antara lain kasus pembantaian kucing hutan di Jember, pembantaian beruang madu di Kalimantan Timur, pembunuhan Harimau Sumatera di Sumatera Utara, dan pembunuhan dan pembakaran primata di Kalimantan Tengah. Hanya saja, semua kasus tak ada yang bergulir hingga ke pengadilan karena alasan kurang bukti dan hingga saat ini belum ada yang dijatuhi hukuman.  Beberapa kasus lain yang mencuat di media sosial terkait aksi pamer hasil buruan satwa liar di media sosial dan belum mendapat respon dari aparat penegak hukum antara lain :
1.    Aksi pamer Kucing hutan (Felis bengalensis), Beruang madu dan Burung elang yang dipajang di Facebook milik mahasiswi Universitas Jember, Ida Tri Susanti, yang mengunggah satwa liar tersebut pada tanggal 12 September 2015;
2.    Aksi pamer hasil buruan satwa liar jenis satwa dwarf cuscus atau kuskus kerdil sulawesi (Strigocuscus celebensis) dan Masupial (hewan berkantong) yang merupakan endemik Sulawesi  yang di unggah di Facebook oleh akun Aldhy Manopo pada tanggal 7 September 2015.
ProFauna mencatat sebagian besar pelaku pemburu satwa liar adalah pemuda yang aktif menggunakan jejaring sosial. Mereka menggunakan Facebook dan media sosial lain untuk berinteraksi dalam komunitas satwa tertentu.
            Dampak negatif media sosial yang lain terhadap satwa liar adalah dampak secara tidak langsung  yaitu berupa makin maraknya perdagangan peralatan berburu satwa liar berupa senjata, perangkap, jerat, racun, peralatan berburu lainnya baik yang masih tradisional maupun peralatan berburu yang modern.  Aktifitas perdagangan peralatan berburu nyaris tidak terendus atau terbaca oleh petugas yang berwenang maupun oleh lembaga peduli satwa lainnya seperti lembaga Pro Fauna.  Hal ini kemungkinan disebabkan karena aparat maupun lembaga pro satwa liar hanya fokus pada kasus yang secara nyata melibatkan korban satwa liar sehingga hampir tidak pernah diberitakan maupun dianalisa secara khusus mengenai dampak dari maraknya perdagangan peralatan berburu terhadap satwa liar.  Selain itu pula juga kemungkinan disebabkan karena regulasi tentang peralatan berburu yang belum diatur atau tidak tersosialisasikan dengan luas ke masyarakat, aparat penegak hukum maupun lembaga pemerhati satwa liar.  Oleh karenanya, hal tersebut juga perlu menjadi perhatian karena dampaknya juga akan bermuara pada peningkatan aktifitas perburuan satwa liar.
            Selain itu pula, dampak negatif media sosial secara tidak langsung terhadap satwa liar juga dapat berupa makin mudahnya atau meningkatnya pertukaran informasi atau transfer pengetahuan tentang teknik-teknik berburu dan teknik-teknik penyeludupan satwa liar. Pada kasus ini, secara otomatis akan sangat sulit terlacak oleh aparat penegak hukum dan masyarakat maupun di proses hukum karena tidak memiliki dasar hukum.  Sementara proses transfer pengetahuan atau ilmu tentu akan selalu dilakukan dengan menggunakan media sosial oleh para komunitas pemburu maupun para jaringan perdagangan atau penyeludup satwa liar.  Sehingga dampak tidak langsung terhadap satwa liar adalah makin meningkatnya aktifitas perburuan dan perdagangan atau penyeludupan satwa liar.

Gambar 1. Foto kucing hutan satwa dilindungi, hasil buruan yang diunggah di akun Ida Tri Susanti.  Sumber: Facebook

Lagi, Pemburu Satwa Liar Sulawesi Utara Memamerkan Hasil Buruan di Jejaring Sosial

Gambar 2. Kuskus kerdil sulawesi (Strigocuscus celebensis) dan Masupial (hewan berkantong) yang di unggah di Facebook oleh akun Aldhy Manopo. Sumber: Facebook
D.  Upaya Pencegahan, Penindakan Dan Konservasi Satwa Liar Melalui Media Sosial
Dampak media sosial terhadap satwa liar sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan awal adalah dapat berdampak positif dan berdampak negatif.  Oleh karenanya, diperlukan upaya-upaya konservasi satwa liar yang lebih aplicable atau aplikatif dalam implementasinya.  Upaya-upaya konservasi satwa liar tersebut dapat dilakukan melalui media sosial maupun secara langsung di lapangan atau lingkungan sosial. Upaya konservasi tersebut dapat berupa :
1.    Merevisi regulasi atau peraturan perundangan tentang konservasi satwa liar  (UU No 5 tahun 1990 tentang KSDAE, PP No. 8 Pemanfaatan jenis TSL, PP No 7 tentang pengawetan satwa liar).
Peraturan perundangan atau regulasi saat ini perlu disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika kondisi sumberdaya alam, teknologi, ilmu pengetahuan dan pertumbuhan populasi manusia. Beberapa hal yang perlu diinput dalam revisi regulasi antara lain pengaturan cyber crime satwa liar, aturan perdagangan online, pengaturan perburuan, penertiban quota perdagangan satwa liar dan pengelolaan konservasi satwa liar secara terpadu.
2.    Penegakan hukum yang konsisten, konsekuen dan kontinyu. 
Waryono (2001) menyatakan bahwa beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum adalah :
(a). Konsekuen; Penindakan hukum dilakukan dimana saja dan tidak ada diskriminasi atau penindakan hukum dilakukan terhadap semua golongan.
(b). Konsisten; Penindakan hukum yang dilakukan terhadap sesuatu objekharus terus
dilakukan. Tidak boleh objek tersebut akhirnya menjadi sesuatu yang dilegalkan, kecuali terjadi peraturan perundang-undangan berubah.
(c). Kontinyu; Penindakan harus dilakukan secara berkesinambungan, tidak hanya pada
saat-saat operasi tertentu saja.
3.    Peningkatan penyuluhan dan sosialisasi secara langsung di masyarakat maupun melalui media massa (media sosial, media cetak, media elektronik) tentang koservasi satwa liar.
4.    Penyediaan dan pembangunan sarana dan prasarana penunjang kegiatan konservasi satwa liar.

E.   Kesimpulan
Berdasarkan hasil uraian dan pembahasan dalammakalah ini, dapat disimpulkan  beberapa hal sebagai berikut :
1.    Media sosial dapat berdampak positif maupun negatif terhadap satwa liar;
2.    Dampak negatif media sosial terhadap satwa liar khususnya yang berupa perdagangan online dan aksi pamer atau selfie hasil buruan satwa liar semakin meningkat sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan dan penegakan hukum;
3.    Masih kurangnya pengetahuan, pemahaman dan kesadaran sebagian masyarakat dan para penegak hukum tentang perlunya kelestarian dan konservasi satwa liar.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2015. Sejarah Perkembangan Internet Di Indonesia. Available online: http://www.pattascomputer.org/sejarah-perkembangan-internet-di-indonesia/
Buol. RA. 2015.  Lagi, Pemburu Satwa Liar Sulawesi Utara Memamerkan Hasil Buruan di Jejaring Sosial.  Available Online : http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/09/lagi-pemburu-satwa-liar-sulawesi-uatara-memamerkan-hasil-buruan-di-jejaring-sosial.
Pitaloka, D.A. 2015. Aktivis catat 5000 kasus perdagangan satwa liar via online; Penegakan hukum yang lemah tidak membuat pelaku jera. Available online : http://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/86704-jejak-perdangan-ilegal-satwa-liar-di-surabaya.
Riski P. 2015.  ProFauna: Unggahan Foto Buruan Satwa di Media Sosial, Bukti Rendahnya Budi Pekerti Kita.  Availble online :  http://www.mongabay.co.id/2015/10/22/profauna-unggahan-foto-buruan-satwa-di-media-sosial-bukti-rendahnya-budi-pekerti-kita/
Waryono T. 2001.   Aspek Pngendalian Perdagangan Ilegal Sata Liar Yng Dilindungi Di Propinsi DKI Jakarta. Available online: www.google.com;

Wijayanti. M. 2015. Perkembangan Tekonologi Komunikasi (Media Sosial). Available online : http://mitawijayanti12.blogspot.co.id/2015/02/perkembangan-teknologi-komunikasi-media. html

Minggu, 27 Maret 2016

KEBAKARAN HUTAN DAN SATWA LIAR

KEBAKARAN HUTAN DAN SATWA LIAR
Jimi Purnama Putra S¹
¹Mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
 

ABSTRAK
Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia saat ini, kembali menjadi perhatian yang serius tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga menjadi perhatian dunia internasional. Pada setiap moment bencana kebakaran hutan, seringkali perhatian masyarakat dunia khususnya masyarakat Indonesia hanya terfokus pada dampak kebakaran hutan terhadap manusia, sedangkan terhadap kehidupan flora dan fauna seringkali luput dari upaya penanggulangan atau penyelamatan khususnya pada satwa liar. Dampak kebakaran hutan terhadap kehidupan flora dan fauna khususnya satwa liar hanya menjadi konsumsi kajian bagi para pemerhati lingkungan, praktisi dan akademisi.  Padahal pada setiap bencana kebakaran hutan yang terjadi dalam suatu wilayah maka secara langsung dipastikan akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan satwa liar.  Dampak kebakaran hutan terhadap satwa lair yang secara kasat mata terlihat adalah banyak satwa liar yang ikut terbakar dan menyebabkan luka bakar atau kematian bagi satwa liar. Luka bakar yang dialami oleh satwa lair akan menyebabkan cacat tubuh atau bahkan kematian bagi satwa liar.  Belum lagi dampak jangka panjang lainya seperti kehilangan habitat, kehilangan sumper pakan, kehilangan sumber air, kehilangan jenis dan genetik, dan lain sebagainya yang dampaknya memerlukan adaptasi yang cukup lama bagi satwa liar.  Dampak yang diakibatkan oleh bencana kebakaran hutan terhadap satwa liar sangat mempengaruhi  pergerakan, distribusi dan populasi satwa liar, bahkan dapat pula menyebabkan kepunahan suatu jenis satwa liar khususnya bagi satwa lair yang endemik dan memiliki populasi yang sangat sedikit di alam atau hutan yang terbakar.  Pembahasan dampak kebakaran hutan terhadap semua jenis satwa liar dan respon satwa liar tidak memungkinkan dilakukan karena akan sangat banyak species yang perlu dikaji dan diuraikan dalam makalah ini.  Untuk itu dalam makalah ini pembahasan dampak kebakaran hutan dan respon satwa liar dibatasi menurut kelas dan satwa-satwa yang familiar dikenal oleh manusia atau masyarakat seperti jenis-jenis burung, mamalia, reptil dan ampibi.

Key Words : Dampak Kebakaran Hutan; Respon Satwa Liar; Pergerakan; distirubusi; Populasi.
 


A.  PENDAHULUAN


Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia saat ini, kembali menjadi perhatian yang serius tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga menjadi perhatian dunia internasional.  Kebakaran hutan yang terus menerus terjadi setiap tahunnya seolah-olah menjadi kejadian yang biasa atau rutin tanpa adanya upaya atau solusi untuk mencegah terjadinya kembali kebakaran, apalagi jika dilihat pada lokasi kebakaran yang selalu terjadi pada daerah-daerah yang sering terjadi kebakaran hutan setiap tahunnya. Tentunya hal tersebut menjadi tanda tanya besar, apakah kejadian kebakaran hutan merupakan suatu kesengajaan atau rutinitas aktifitas masyarakat dan perusahaan perkebunan atau memang karena diakibatkan oleh gejala alam sebagai akibat dari musim kemarau.  Evaluasi dan proses hukum telah sering dilaksanakan dalam menyikapi kejadian kebakaran hutan, namun kejadian kebakaran hutan di Indonesia tetap ” jalan terus bagaikan jalan tol “ tanpa ada upaya yang siginifikan dari semua stake holder dalam upaya mencegah kembali terjadinya kebakaran hutan di Indonesia.   Berbagai permasalahan atau hambatan seringkali menjadi “ faktor pembenaran atau permakluman “  terhadap kejadian kebakaran hutan di Indonesia misalkan penegakan hukum yang tidak tepat, fenomena alam el nino, ketiadaan anggaran pemadaman di daerah, perilaku/kebiasaan masyarakat membuka lahan dengan membakar, dan lain sebagainya  sehingga menyebabkan perhatian dan evaluasi yang serius semua pihak terhadap kebakaran hutan berlalu begitu saja ketika bencana kebakaran hutan berhenti dengan sendirinya karenanya datangnya musim hujan.
Pada setiap moment bencana kebakaran hutan, seringkali perhatian masyarakat dunia khususnya masyarakat Indonesia hanya terfokus pada dampak kebakaran hutan terhadap manusia, sedangkan terhadap kehidupan flora dan fauna seringkali luput dari upaya penanggulangan atau penyelamatan khususnya pada satwa liar.  Seringkali bencana kebakaran hutan belum menjadi perhatian serius ketika belum memberikan dampak terhadap manusia, padahal sebelum berdampak pada manusia kebakaran hutan telah berdampak pada kehidupan flora dan fauna beserta seluruh ekosistem hutan. Jika kita menyimak pemberitaan di media massa baik media cetak maupun media elektronik, maka pemberitaan tentang dampak kebakaran hutan terhadap kehidupan flora dan fauna sangat sedikit di ulas namun sebaliknya jika telah berdampak pada manusia maka akan menjadi      “ headlines” pada setiap media massa dan menjadi isu publik yang ramai diperbincangkan.  Dampak kebakaran hutan terhadap kehidupan flora dan fauna khususnya satwa liar hanya menjadi konsumsi kajian bagi para pemerhati lingkungan, praktisi dan akademisi. Sangat jarang menjadi headlines atau berita utama yang diangkat/diulas oleh media cetak maupun elektronik sehingga seringkali tidak menjadi bagian dari isu atau perhatian publik yang berdampak pada kurangnya kesadaran dan perhatian masyarakat terhadap kelestarian kehidupan flora dan fauna khususnya satwa liar pada saat bencana kebakaran hutan terjadi.  Oleh karena itulah dalam ulasan makalah ini mencoba untuk menguraikan dampak dan respon satwa liar terhadap bencana kebakaran hutan.  Makalah ini bersumber dari beberapa jurnal atau makalah, buku, hasil penelitian dan ulasan berita di media massa yang mengkaji atau mengulas tentang respon satwa liar terhadap bencana kebakaran hutan dan dampak kebakaran hutan terhadap kehidupan satwa liar.  Berdasarkan hasil penulusuran artikel, makalah, hasil penelitian dan sebagainya relatif sangat sedikit yang membahas atau mengulas tentang  respon satwa liar terhadap bencana kebakaran hutan dan dampak kebakaran hutan terhadap kehidupan satwa liar jika dibandingkan dengan isu atau topik lain terkait hutan dan permasalahannya.
Tujuan dari penulisan makalah respon satwa liar terhadap bencana kebakaran hutan dan dampak kebakaran hutan terhadap kehidupan satwa liar antara lain :
1.     Untuk mengkaji dan menguraikan respon satwa liar terhadap bencana kebakaran hutan dan dampak kebakaran hutan terhadap kehidupan satwa liar;
2.     Sebagai bahan informasi bagi publik atau masyarakat tentang respon satwa liar terhadap bencana kebakaran hutan dan dampak kebakaran hutan terhadap kehidupan satwa liar;
3.     Untuk menggalang respon dan simpati publik terhadap konservasi kehidupan sata liar pasca bencana kebakaran hutan.
B. PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN
Penyebab kebakaran hutan khususnya di Indonesia seringkali menjadi perdebatan antara kebakaran alami (terjadinya kebakaran karena proses alami) dan kebakaran yang disengaja (sengaja dibakar oleh manusia).  Kebakaran dan pembakaran merupakan sebuah kata dengan kata dasar yang sama tetapi mempunyai makna yang berbeda. Kebakaran indentik dengan kejadian yang tidak disengaja sedangkan pembakaran identik dengan kejadian yang sengaja diinginkan tetapi tindakan pembakaran dapat juga menimbulkan terjadinya suatu kebakaran. Penggunaan istilah kebakaran hutan dengan pembakaran terkendali merupakan suatu istilah yang berbeda. Penggunaan istilah ini sering kali mengakibatkan timbulnya persepsi yang salah terhadap dampak yang ditimbulkannya.
Kebakaran-kebakaran yang sering terjadi digeneralisasi sebagai kebakaran hutan, padahal sebagian besar (99,9%) kebakaran tersebut adalah pembakaran yang sengaja dilakukan maupun akibat kelalaian, baik oleh peladang berpindah ataupun oleh pelaku binis kehutanan atau perkebunan, sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam (petir, larva gunung berapi). Saharjo (1999) menyatakan bahwa baik di areal HTI, hutan alam dan perladangan berpindah dapat dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah berasal dari ulah manusia, entah itu sengaja dibakar atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada saat penyiapan lahan. Bahan bakar dan api merupakan faktor penting untuk mempersiapkan lahan pertanian dan perkebunan (Saharjo, 1999). Pembakaran selain dianggap mudah dan murah juga menghasilkan bahan mineral yang siap diserap oleh tumbuhan. Banyaknya jumlah bahan bakar yang dibakar di atas lahan akhirnya akan menyebabkan asap tebal dan kerusakan lingkungan yang luas. Untuk itu, agar dampak lingkungan yang ditimbulkannya kecil, maka penggunaan api dan bahan bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara cermat dan hati-hati. Untuk menyelesaikan masalah ini maka manajemen penanggulangan bahaya kebakaran harus berdasarkan hasil penelitian dan tidak lagi hanya mengandalkan dari terjemahan textbook atau pengalaman dari negara lain tanpa menyesuaikan dengan keadaan lahan di Indonesia (Saharjo, 2000).  Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:
1.     Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang;
2.     Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung rokok sembarangan dan lupa mematikan api di perkemahan;
3.     Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung berapi;
4.     Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau membuka lahan pertanian baru dan tindakan vandalisme;
5.     Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.
Secara teori kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak, adalah sebuah kebakaran yang terjadi di alam liar, tetapi juga dapat memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian disekitarnya. Selain itu, kebakaran hutan dapat didefinisikan sebagai pembakaran yang tidak tertahan dan menyebar secara bebas dan mengonsumsi bahan bakar yang tersedia di hutan, antara lain terdiri dari serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, dan lain-lain. Istilah Kebakaran hutan di dalam Ensiklopedia Kehutanan Indonesia disebut juga Api Hutan. Selanjutnya dijelaskan bahwa Kebakaran Hutan atau Api Hutan adalah Api Liar yang terjadi di dalam hutan, yang membakar sebagian atau seluruh komponen hutan. Dikenal ada 3 macam kebakaran hutan, Jenis-jenis kebakaran hutan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.     Api permukaan atau kebakaran permukaan yaitu kebakaran yang terjadi pada lantai hutan dan membakar seresah, kayu-kayu kering dan tanaman bawah. Sifat api permukaan cepat merambat, nyalanya besar dan panas, namun cepat padam. Dalam kenyataannya semua tipe kebakaran berasal dari api permukaan.
2.     Api tajuk atau kebakaran tajuk yaitu kebakaran yang membakar seluruh tajuk tanaman pokok terutama pada jenis-jenis hutan yang daunnya mudah terbakar. Apabila tajuk hutan cukup rapat, maka api yang terjadi cepat merambat dari satu tajuk ke tajuk yang lain. Hal ini tidak terjadi apabila tajuk-tajuk pohon penyusun tidak saling bersentuhan.
3.     Api tanah adalah api yang membakar lapisan organik yang dibawah lantai hutan. Oleh karena sedikit udara dan bahan organik ini, kebakaran yang terjadi tidak ditandai dengan adanya nyala api. Penyebaran api juga sangat lambat, bahan api tertahan dalam waktu yang lama pada suatu tempat (anonim, 2015).
Kebakaran Hutan
Insert : http://alamendah.org/2011/08/27/ dampak-kebakaran-hutan/

C. DAMPAK KEBAKARAN HUTAN
Kebakaran hutan yang terjadi pada suatu daerah atau negara, dapat menimbulkan dampak yang sangat serius dan kompleks.  Jika di kaji secara mendalam maka dampak yang ditimbulkannya tidak hanya berdampak pada aspek ekologi dan kerusakan lingkungan saja ,namun  berdampak pada aspek lainnya.   Menurut Rully Syumanda (2003), menyebutkan ada 4 aspek yang terindikasi sebagai dampak dari kebakaran hutan. Keempat dampak tersebut mencakup dampak terhadap kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi, dampak terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan, dampak terhadap hubungan antar negara, serta dampak terhadap perhubungan dan pariwisata. Kebakaran hutan memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi yang diantaranya meliputi:
1.    Terganggunya aktivitas sehari-hari; asap yang diakibatkan oleh kebakaran hutan secara otomatis mengganggu aktivitas manusia sehari-hari, apalagi bagi yang aktivitasnya dilakukan di luar ruangan.
2.    Menurunnya produktivitas; terganggunya aktivitas manusia akibat kebakaran hutan dapat mempengaruhi produktivitas dan penghasilan.
3.    Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan; Selain itu, bagi masyarakat yang menggantungkan hidup dari mengolah hasil hutan, dengan terbakarnya hutan berarti hilang pula area kerja (mata pencarian).
4.    Meningkatnya hama; kebakaran hutan akan memusnahkan sebagian spesies dan merusak kesimbangan alam sehingga spesies-spesies yang berpotensi menjadi hama tidak terkontrol. Selain itu, terbakarnya hutan akan membuat sebagian satwa kehilangan habitat yang kemudian memaksa mereka untuk keluar dari hutan dan menjadi hama seperti gajah, monyet, dan binatang lain.
5.    Terganggunya kesehatan; kebakaran hutan berakibat pada pencemaran udara oleh debu, gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lain-lain.
6.    Tersedotnya anggaran negara; setiap tahunnya diperlukan biaya yang besar untuk menangani (menghentikan) kebakaran hutan dan untuk merehabilitasi hutan yang terbakar serta berbagai dampak lain semisal kesehatan masyarakat dan bencana alam yang diambilkan dari kas negara.
7.    Menurunnya devisa negara; hutan telah menjadi salah satu sumber devisa negara baik dari kayu maupun produk-produk non kayu lainnya, termasuk pariwisata. Dengan terbakarnya hutan sumber devisa akan musnah. Selain itu, menurunnya produktivitas akibat kebakaran hutan pun pada akhirnya berpengaruh pada devisa negara.
8.     Dampak terhadap hubungan antar negara; asap hasil kebakaran hutan menjadi masalah serius bukan hanya di daerah sekitar hutan saja. Asap terbawa angin hingga ke daerah lain bahkan mencapai berbagai negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
9.     Dampak terhadap perhubungan dan pariwisata; kebakaran hutan pun berdampak pada pariwisata baik secara langsung ataupun tidak. Dampaknya seperti ditutupnya obyek wisata hutan dan berbagai sarana pendukungnya, terganggunya transportasi, terutama transportasi udara. kesemuanya berakibat pada penurunan tingkat wisatawan secara nasional.

D.  DAMPAK KEBAKARAN HUTAN DAN RESPON SATWA LIAR
Sebagaimana topik dan tujuan dari makalah ini yang fokus pada pembahasan mengenai dampak kebakaran hutan terhadap satwa liar dan respon satwa liar terhadap kebakaran hutan. Dampak kebakaran hutan terhadap satwa liar diasumsikan sebagai proses atau peristiwa kebakaran hutan  yang langsung berdampak pada kehidupan satwa liar sedangkan respon satwa liar terhadap kebakaran hutan merupakan reaksi satwa liar baik secara langsung maupun secara jangka panjang dalam menyikapi terjadinya kebakaran hutan dan pasca kebakaran hutan terjadi.
Pada setiap bencana kebakaran hutan yang terjadi dalam suatu wilayah maka secara langsung dipastikan akan memberikan dampak terhadap kehidupan satwa liar.  Dampak kebakaran hutan terhadap satwa lair yang secara kasat mata terlihat adalah banyak satwa liar yang ikut terbakar dan menyebabkan luka bakar atau kematian bagi satwa liar. Luka bakar yang dialami oleh satwa liar akan menyebabkan cacat tubuh atau bahkan kematian bagi satwa liar.  Belum lagi dampak jangka panjang lainya seperti kehilangan habitat, kehilangan sumper pakan, kehilangan sumber air, kehilangan jenis dan genetik, dan lain sebagainya yang dampaknya memerlukan adaptasi yang cukup lama bagi satwa liar.  Dampak yang diakibatkan oleh bencana kebakaran hutan terhadap satwa liar sangat mempengaruhi  pergerakan, distribusi dan populasi satwa liar, bahkan dapat pula menyebabkan kepunahan suatu jenis satwa liar khususnya bagi satwa liar yang endemik dan memiliki populasi yang sangat sedikit di alam atau hutan yang terbakar.  Menurut Prof. Dr. Ani Mardiastuti dalam tulisannya yang dimuat dalam artikel elektronik ipbmag yang menyatakan bahwa kebakaran hutan dapat menyebabkan kematian langsung bagi satwa liar akibat terbakar langsung maupun kekurangan oksigen karena banyak menghirup asap pembakaran.   Selain itu, peristiwa kebakaran hutan akan menyebabkan banyak satwa liar yang secara komposisi jenis kelamin dalam suatu komunitas atau populasi tidak seimbang atau bahkan tidak lengkap sehingga kesulitan dalam melakukan perkembangbiakan atau perkawinan karena  ketidakadanya pasangan dari satwa liar sehingga lambat laut akan mengalami penurunan populasi yang pada akhirnya akan  mengalami kepunahan.
Kerusakan habitat yang diakibatkan oleh kebakaran hutan khususnya tumbuhan atau tanaman yang menjadi sumber pakan bagi satwa liar juga ikut mempengaruhi pergerakan, distribusi dan populasi satwa liar.  Menurut Firmansyah (1999), banyak peneliti antara lain Klein (1970), Moss (1967), Schultz (1969), Watson dan Moss (1972) dalam Kozlowski (1974)  mengemukakan bahwa kualitas dari makanan merupakan faktor pembatas bagi sebagian besar satwa herbivore.  Sehingga jika tumbuhan atau tanaman yang menjadi sumber pakan bagi satwa liar herbivore hilang atau terbakar maka akan mempengaruhi pola makan bagi satwa herbivore dan pola mencari mangsa bagi satwa liar karnivor.  Tumbuhan yang sebelum terjadi kebakaran hutan menjadi pelindung bagi satwa liar herbivore terhadap pemangsa atau predator menjadi hamparan terbuka sehingga dapat menguntungkan dan memudahkan bagi predator dalam mencari mangsa.
Dampak kebakaran hutan terhadap satwa liar sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan awal sangat beragam dan hampir mencakup keseluruhan kehidupan satwa liar.  Semakin besar api akibat kebakaran hutan maka akan semakin berdampak pada satwa liar karena terjadi peningkatan suhu dan asap.  Begitu pula terhadap luas areal yang terbakar akan semakin mempersempit habitat, pergerakan dan distribusi populasi satwa liar.  Oleh karenanya, pembahasan dampak kebakaran hutan terhadap semua jenis satwa liar dan respon satwa liar tidak memungkinkan dilakukan karena akan sangat banyak species yang perlu dikaji dan diuraikan dalam makalah ini.  Untuk itu dalam makalah ini pembahasan dampak kebakaran hutan dan respon satwa liar dibatasi menurut kelas dan satwa-satwa yang familiar dikenal oleh manusia atau masyarakat seperti jenis-jenis burung, mamalia, reptil dan ampibi.

Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Burung

            Burung merupakan jenis satwa liar yang secara langsung tidak berdampak akibat kebakaran hutan karena kemampuan terbangnya untuk menghindari api dan asap sehingga relatif aman dari ancaman kebakaran.  Namun,  berdampak pada anak-anak burung yang belum dapat terbang, sarang dan habitat burung.  Pada jenis-jenis burung yang daya jangkau terbangnya  pendek seperti pada jenis burung yang hidupnya di permukaan tanah seperti jenis kasuari, gosong, maleo dan jenis lainnya berdampak secara langsung terhadap kebakaran hutan. Firmasyah (1999) menyatakan sebagian besar jenis burung adalah kelompok satwa yang dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya.  Namun, sebagian kecil lainnya  sangat peka terhaap perubahan lingkungan, sehingga burung dapat digunakan sebagai salah satu indikator terhadap perubahan lingkungan. 

Pea Island National Wildlife Refuge, NC. Photo: U.S. Fish and Wildlife Service.
            Jack Lyon et al (2000) menyatakan bahwa penelitian dalam literatur menunjukkan bahwa komunitas burung terganggu selama minimal 2 tahun pasca kebakaran hutan. Spesies burung yang bersarang dan penggunaan padang rumput yang baik disesuaikan dengan cepat, perubahan diprediksi dalam karakteristik habitat terkait dengan kebakaran, meskipun kebakaran tersebut sering menghapus substrat sarang burung dan tempat bersembunyi. Komunitas burung di South Dakota pasca 2 ke 3 bulan setelah kebakaran menunjukkan perubahan populasi yang dramatis dengan proporsi tinggi penjajah, endurer, dan tanggapan avoider (Huber dan Steuter 1984). Jenis burung Sandpiper Upland dan west Meadowlark menunjukkan peningkatan populasi yang cukup besar dibandingkan dengan daerah-daerah yang tidak terbakar, sementara burung belalang dan burung hitam bersayap merah memiliki kelimpahan yang jauh lebih rendah.  Penelitian lain pada komunitas burung postfire adalah dilakukan selama periode lebih lama dari studi di atas. Selama 2 tahun pertama setelah kebakaran padang rumput di tenggara Arizona, kebanyakan populasi burung berubah, tapi beberapa spesies ditinggalkan atau benar-benar baru dalam habitat tersebut (Bock dan Bock 1978). Hampir 75 persen dari spesies tanggapan diklasifikasikan sebagai bunglon, endurer, dan pemeras. Di Saskatchewan, komunitas burung juga berubah dalam 2 tahun pertama setelah padang rumput api (Zimmerman 1992). Lebih dari setengah dari populasi burung menunjukkan tanggapan yang berbeda. Tidak ada tanggapan diklasifikasikan sebagai avoider, dan hanya beberapa tanggapan yang penjajah dan pemeras. Kelimpahan spesies kunci seperti claycolored dan burung pipit savana masih substansial di bawah tingkat terbakar di tahun 3, sehingga secara keseluruhan kelimpahan secara konsisten lebih rendah di daerah yang terbakar..  Spesies burung yang sama dapat merespon secara berbeda untuk kebakaran di habitat yang berbeda. Misalnya, burung pipit bidang di pusat Illinois lebih memilih untuk berkembang biak di padang rumput yang ditumbuhi dengan semak dan pohon gugur muda (shrubgrassland), tetapi mereka juga berkembang biak di padang rumput tanpa sekat dan di hutan terbuka (Best 1979).
Secara umum, dampak kebakaran hutan pada burung dapat diringkas dengan menggunakan sistem klasifikasi berikut menurut Koordinasi Kelompok Koordinasi Nasional Wildfire (2001):
•  Spesies yang tidak toleran terhadap api akan mengalami penurunan kelimpahan setelah kebakaran dan dampak kehadirannya hanya di daerah yang ditandai dengan tingkat keparahan dan frekuensi api sangat rendah. Spesies ini, terkait erat dengan hutan kanopi tertutup dan umumnya lebih memilih bersarang dan mencari makan pada area yang padat dan tertutup semak atau tumbuhan. Ini termasuk sarang burung tanah yang menjadi tidak toleran terhadap api ketika kebakaran karena  menghilangkan sumber serangga, menghancurkan sarang yang ada, dan menghapus penutup dan pelindung yang diperlukan untuk membangun sarang yang baru. Contoh spesies burung yang tidak toleran terhadap api meliputi jenis hermit thrush, red-breasted nuthatch dan brown creeper;
•  Jenis burung tahan atau tidak terpengaruh oleh api, yaitu jenis burung yang popuasinya tidak meningkat atau menurun setelah kebakaran. Spesies ini sering memiliki niche atau relung ekologi yang mencakup komunitas tumbuhan yang tahan dan toleran terhadap api. Karena kualitas ini generalis dan oportunistik, spesies ini sering menunjukkan fleksibilitas yang tinggi dalam menanggapi api. Contohnya termasuk burung gagak, burung raven, robin dan banyak jenis unggas air;
• Jenis burung yang mampu beradaptasi terhadap api dan mengalami peningkatan kelimpahan, karena preferensi mereka terhadap api pada habitat terbuka. Banyak burung penyanyi, raptor, pelatuk dan burung pembuat sarang termasuk dalam kategori ini. Misalnya, seperti yang dijelaskan dalam Smith (2000), pohon yang luka bakar, terinfeksi dan membusuk, sering menyediakan situs bersarang dan bertengger, awalnya untuk burung pelatuk dan kemudian untuk jenis burung pembuat sarang . Setelah pohon tempat sarang ini jatuh, lokasi sarang alternatif disediakan oleh pohon lain yang mati akibat api  dan mengalami pembusukan (Smith 2000). Contoh spesies yang mampu beradaptasi terhadap api meliputi jenis western bluebird, vesper, Brewer dan burung pipit savana, elang Cooper, downy, hairy and three-toed woodpeckers;
•  Jenis burung yang tergantung pada api hanya terjadi di daerah suksesi awal seperti yang dipengaruhi oleh kebakaran. Contoh spesies termasuk jenis burung belibis biru, crane sandhill dan kalkun liar.

Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Mamalia
   Secara umum kebakaran hutan berdampak pada kehidupan satwa lair mamalia, namun dalam pembahasan makalah ini hanya beberapa contoh mamalia yang akan dibahas terkait dengan kebakaran hutan.  Berdasarkan hasil penelusuran literatur terkait dampak kebakaran hutan dan respon mamalia banyak ditemukan hasil-hasil penelitian yang mengkaji jenis satwa orang utan, macaca, rusa, beruang, dan jenis satwa yang familar lainnya.  Secara insting ketika terjadi kebakaran hutan maka mamalia dengan spontan akan menghindari kebakaran dan mencari lokasi yang tidak terbakar. Jangkauan pergerakan mamalia akan sangat tergantung dari luas hutan yan terbakar.  Pada primata menurut Firmansyah (1999), bentuk toleansinya terhadap kebakaran hutan adalah dengan memberikan respon terhadap perubahan habitat akibat kebakaran hutan dalam bentuk memilih jenis makanan tertentu dihutan primer atau mengkonsumsi dalam jumlah besar  daun-daun yang belum matang dan insecta.  Munculnya tunas-tunas muda pada tumbuhan, pucuk-pucuk pohon dan daun-daun/rumput muda menyebabkan populasi insecta meningkat sehingga menjadi alternatif sumber pakan bagi primata seiringnya dengan berkurangnya tumbuhan yang memiliki buah sebagai makanan utama pada primata. Jenis-jenis primata yang terkait hal tersebut antara lain jenis Macaca (beruk), orang utan dan Gibon (Uwa uwa) (Suzuki, 1988).
Pada penelitian Susilo (1986) dalam Firmansyah (1999), makanan orang utan masih cukup tersedia pasca kebakaran hutan.  Terdapat sedikit perubahan pola mencari makan terhadap orang utan terkait dengan lamanya waktu makan, perjalanan mencari makan dan waktu istirahat (resting) pasca kebakaran hutan.  Lama waktu makan sedikit menurun yang kemungkinan disebabkan karena kualitas makanan yang berubah/menurun dari biasanya sebelum kebakaran hutan.  Begitu pula pada aktifitas mencari makan menjadi lebih lama karena keterbatasan sumberdaya makan yang tersedia pasca kebakaran hutan, sehingga menjadikan waktu istirahat (resting) Orang Utan lebih banyak jka dibandingkan dengan sebelum kebakaran hutan.  Berikut adalah tabel yang menunjukan perilaku Orang Utan sebelum dan sesudah kebakaran hutan terkait dengan aktifitas mencari makan :

Tabel 1. Perilaku Orang Utan sebelum dan sesudah kebakaran (%)

Uraian
Sebelum kebakaran
Sesudah kebakaran
Peneliti
Rodman (1977)
Galdikas (1980)
A.Susilo (1986)
Lokasi
?
TN Tanjung Puting
Mentoko
Prefab
Waktu
05.30 – 18.30
?
06.00 – 19.00
06.00 – 19.00
Feeding
45,9
60,1
48,6
32,2
Travel
14,1
8,7
9,5
11,3
Resting
39,2
31,2
41,9
56,5

            Selanjutnya hasil penelitian Susilo dan Tangketasik 1988 di Taman Nasional Kutai diketahui bahwa Monyet (Macaca fascicularis) mampu melakukan adaptasi dengan mengubah pola makan dan daerah jelajahnya (home range) pasca kebakaran hutan.  Monyet (Macaca fascicularis) mengubah menu makan primernya dari buah-buahan menjadi dedaunan masak dan serangga.  Empat bulan sebelum kebakaran  Monyet (Macaca fascicularis) mengkonsumsi 61 jenis pohon buah dan bunga dari 18 jenis tanaman.  Empat bulan setelah kebakaran terjadi perubahan pola makan Monyet (Macaca fascicularis) dengan konsumsi variasi makanan yang lebih sedikit  menjadi 31 jenis buah dan dan bunga dari 8 jenis tanaman.  Terjadinya penurunan variasi makanan terhadap buah dan bunga karena Monyet (Macaca fascicularis) mulai memakan daun-daunan dan serangga sebagai respon terhadap ketersediaan sumberdaya yang ada pasca kebakaran hutan.
            Pada kasus lainnya, kebakaran hutan juga berdampak pada kelompok mamalia herbivore berkuku (ungulates), namun para peneliti banyak menjumpai bahwa secara tidak langsung kelompok ini juga termasuk dalam kelompok yang diuntungkan pasca kebakaran hutan. Keuntungan yang dimaksud adalah terjadinya suksesi tanaman baru yang merupakan sumber pakan bagi sebagian besar kelompok herbivore berkuku seperti jenis rusa, kijang, banteng, bison dan satwa hebivora sejenis lainnya.  Leighton (1983) menyatakan jenis Rusa Sambar (Cervus unicolor) dan Kijang (Muntiacus muntjak) dan Kancil (Tragulus sp) yang hidup di Taman Nasional Kutai meningkat populasinya setelah kebakaran hutan karena lantai hutan dipenuhi oleh tanaman bawah dan banyak jenis tumbuhan yang merupakan makanan satwa ini.  Begitupula yang terjadi pada Rusa Merah (Cervus elaphus) dan Rusa Roe (Capreolus capreolus)  yang hidup di Hutan bagian selatan barat Polandia, pasca kebakaran hutan meningkat populasinya karena ketersediaan makanan dari tumbuhan atau tanaman yang baru pasca kebakaran hutan (Borkowsksi, 2004).  Biswell (1961) dalam Jack Lyon et al (2000) melaporkan peningkatan lebih dramatis kepadatan rusa di chamise kaparal naik dari 30 rusa per mil persegi menjadi 120 rusa per mil persegi tahun pertama setelah kebakaran hutan. Sebagai contoh, kebakaran besar tahun 1988 di wilayah Greater Yellowstone menewaskan sekitar 1 persen dari total populasi rusa di daerah itu, dengan sebagian besar kematian ini diakibatkan karena suhu yang terlalu panas dan asap. Ketika mengalami kebakaran, beberapa studi telah mengamati bahwa hewan-hewan kecil tampak lebih mudah panik daripada yang besar, hewan yang memliki ukuran tubuh besar lebih cepat dalam bergerak. Bahkan, mamalia yang lebih besar sering digambarkan bergerak dengan tenang di sekeliling api. Misalnya, dalam Smith (2000) tidak ada mamalia besar yang diamati melarikan diri dari kebakaran Yellowstone, dengan sebagian besar muncul "acuh tak acuh" bahkan untuk kebakaran yang besar.  Beberapa spesies termasuk bison dan rusa digambarkan sedang merumput dan beristirahat dalam 100 meter dari kebakaran hutan (anonim, 2001).

Gambar Rusa di China Ten Fire, Nez Perce National Forest, ID. Photo: U.S. Fish and Wildlife Service

            Jika pada mamalia herbivore relatif mampu beradapatasi pasca kebakaran hutan maka akan muncul pertanyaan bagaimana dengan mamalia karnivora dan omnivora? Berdasakan hasil penelitian disebutkan pada dasarnya mamalia karnivore relatif menyesuaikan dengan pergerakan mamalia herbivore yang merupakan sumber pakan bagi mamalia karnivore. Jack Lyon et al (2000) menyatakan bahwa karnivora besar dan omnivora adalah species oportunistik dengan pergerakan yang luas. Populasi mereka mengalami adaptasi terhadap kebakaran hutan, tetapi mereka cenderung untuk berkembang di daerah di mana mangsa yang mereka sukai atau mamalia herbivora yang paling berlimpah sering berada pasca kebakaran hutan.
            Respon satwa karnivora terhadap kebakaran hutan sangat tergantung pada respon herbivora. Artinya, jika populasi mangsa meningkat, maka populasi karnivora juga akan meningkat. Sebagai contoh, sebuah penelitian disorot dalam Smith (2000), ditentukan bahwa penurunan mamalia kecil akibat kebakaran juga mengakibatkan penurunan jumlah Luwak Amerika. Predator lainnya, seperti marten pinus, juga diketahui berdampak negatif akibat kebakaran, kebakaran biasanya merugikan mangsa mereka dan keseluruhan habitatnya. Kebakaran yang besar dapat mengakibatkan kematian fauna sehingga menguntungkan karnivora dan omnivora termasuk beruang grizzly, beruang hitam, anjing hutan, elang botak elang emas, dan gagak. Sebagai contoh, setelah musim kebakaran British Columbia tahun 2003, beruang hitam yang diamati memakan bangkai ternak di daerah Barriere. Selain peningkatan ketersediaan karkas, efek api pada mamalia omnivora, seperti beruang, tergantung pada bagaimana habitat atribut seperti sumber makanan lain dan situs tempat tidurnya terpengaruh. Misalnya, beruang sering berdampak ketika sarang yang dibuatnya dihancurkan atau ketersediaan pakan meningkat melalui tumbuhnya tunas kembali yang memproduksi semak sebagai sarangnya (Anonim, 2001).

Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Reptil dan Amfibi
Penelitian mengenai dampak kebakaran hutan terhadap reptil dan amfibi sangat sedikit dilakukan jika dibandingkan dengan satwa liar lainya. Oleh karenanya, sangat sedikit data hasil penelitian yang dapat diuraikan dalam makalah ini. Secara logika tentunya dampak secara langsung kebakaran hutan terhadap kelompok  reptil dan ampibi adalah ikut terbakar dan selanjutnya mati terbakar. Kelompok reptil dan ampibi umumnya memiliki pergerakan yang lambat sehingga peluang lolos dari kebakaan hutan relatif kecil.  Namun, beberapa species mampu lolos dari api dengan cara masuk ke dalam genangan air pada daerah yang masih tergenang air maupun ke dalam lubang-lubang tanah atau gua yang tidak tembus suhu panas dari api.  Pasca kebakaran hutan, reptil dan ampibi dapat beradaptasi dengan kondisi habitat yang mengalami suksesi dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia.

E.  KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dan analisa kebakaran hutan dan hubungannya dengan satwa liar, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1.     Kebakaran hutan tidak hanya memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi, namun juga secara ekologi khususnya kehidupan satwa liar;
2.     Dampak yang ditimbulkan kebakaran hutan terhadap satwa liar dapat secara langsung berupa kematian, luka bakar, cacat tubuh yang dapat menyebabkan penurunan jumlah populasi dan kepunahan dan secara tidak langsung  berupa perubahan pola makan dan distribusi/pergerakan satwa liar;
3.     Penelitian-penelitian tentang respon satwa liar terhadap kebakaran hutan dan dampak kebakaran hutan terhadap satwa liar masih jarang dilakukan sehingga perlu ditingkatkan agar penanganan satwa liar ketika kebakaran hutan dan pasca kebakaran hutan dapat lebih dimaksimalkan;
4.     Publikasi hasil-hasil penelitian tentang satwa liar dan kebakaran hutan masih menjadi konsumsi masyarakat akademik sehingga kurang diketahui oleh publik sehingga diperlukan publikasi melalui media massa dengan format yang lebih menarik.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim;National Wildfire Coordinating Group. 2001. Fire Effects Guide. Available online: http:// www.nwcg.gov/pms/RxFire/FEG.pdf. 313 p.
Brown, J.K. and J.K. Smith, eds. 2000. Wildland fire in ecosystems: effects of fire on flora. Gen. Tech. Rep. RMRS-GTR-42-vol. 2. Ogden, UT: U.S. Department of Agriculture, Forest Service, Rocky Mountain Research Station. 257 p.
Firmansyah K. 1999.  Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Satwa Liar.  Makalah.  Availble online. http://www.slideshare.net.
Gleason, KM dan Gillete,S. 2009.   Myth Busting About Wildlife and Fire:Are Animals Getting Burned?. Available online:Fire Management Today. Volume 69 • No. 1 • Winter 2009;
J. Borkowski. 2004.  Distribution and habitat use by red and roe deer following a large forest fire in South-western Poland.  Available online at www.sciencedirect.com



Susilo, A; dan Tangketasik, J. 1988. Habitat dan Perilaku Makan Macaca fascicularis di Hutan Bekas Terbakar Mentoko Taman Nasional Kutai Kalimantan Timur. Wanatrop 3.


        

Perjalanan Perdana Kendari-Wanci Via Kapwl Laut

Hari ini perjalanan perdana Kendari-Wanci via kapal laut yang cukup mendapatkan perhatian khusus dari saya. Bukan apa2, kesempatan ini suda...