KEBAKARAN
HUTAN DAN SATWA LIAR
Jimi Purnama Putra S¹
¹Mahasiswa Program
Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
ABSTRAK
Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia saat ini,
kembali menjadi perhatian yang serius tidak hanya di tingkat nasional tetapi
juga menjadi perhatian dunia internasional. Pada setiap moment bencana
kebakaran hutan, seringkali perhatian masyarakat dunia khususnya masyarakat
Indonesia hanya terfokus pada dampak kebakaran hutan terhadap manusia,
sedangkan terhadap kehidupan flora dan fauna seringkali luput dari upaya penanggulangan
atau penyelamatan khususnya pada satwa liar. Dampak kebakaran hutan terhadap
kehidupan flora dan fauna khususnya satwa liar hanya menjadi konsumsi kajian
bagi para pemerhati lingkungan, praktisi dan akademisi. Padahal pada setiap bencana kebakaran hutan yang
terjadi dalam suatu wilayah maka secara langsung dipastikan akan memberikan
dampak yang sangat besar terhadap kehidupan satwa liar. Dampak kebakaran hutan terhadap satwa lair
yang secara kasat mata terlihat adalah banyak satwa liar yang ikut terbakar dan
menyebabkan luka bakar atau kematian bagi satwa liar. Luka bakar yang dialami
oleh satwa lair akan menyebabkan cacat tubuh atau bahkan kematian bagi satwa
liar. Belum lagi dampak jangka panjang
lainya seperti kehilangan habitat, kehilangan sumper pakan, kehilangan sumber
air, kehilangan jenis dan genetik, dan lain sebagainya yang dampaknya
memerlukan adaptasi yang cukup lama bagi satwa liar. Dampak yang diakibatkan oleh bencana
kebakaran hutan terhadap satwa liar sangat mempengaruhi pergerakan, distribusi dan populasi satwa
liar, bahkan dapat pula menyebabkan kepunahan suatu jenis satwa liar khususnya
bagi satwa lair yang endemik dan memiliki populasi yang sangat sedikit di alam
atau hutan yang terbakar. Pembahasan dampak kebakaran hutan terhadap semua jenis satwa liar
dan respon satwa liar tidak memungkinkan dilakukan karena akan sangat banyak
species yang perlu dikaji dan diuraikan dalam makalah ini. Untuk itu dalam makalah ini pembahasan dampak
kebakaran hutan dan respon satwa liar dibatasi menurut kelas dan satwa-satwa
yang familiar dikenal oleh manusia atau masyarakat seperti jenis-jenis burung,
mamalia, reptil dan ampibi.
Key Words : Dampak Kebakaran
Hutan; Respon Satwa Liar; Pergerakan; distirubusi; Populasi.
A. PENDAHULUAN
Kebakaran hutan yang terjadi di
Indonesia saat ini, kembali menjadi perhatian yang serius tidak hanya di
tingkat nasional tetapi juga menjadi perhatian dunia internasional. Kebakaran hutan yang terus menerus terjadi
setiap tahunnya seolah-olah menjadi kejadian yang biasa atau rutin tanpa adanya
upaya atau solusi untuk mencegah terjadinya kembali kebakaran, apalagi jika
dilihat pada lokasi kebakaran yang selalu terjadi pada daerah-daerah yang
sering terjadi kebakaran hutan setiap tahunnya. Tentunya hal tersebut menjadi
tanda tanya besar, apakah kejadian kebakaran hutan merupakan suatu kesengajaan
atau rutinitas aktifitas masyarakat dan perusahaan perkebunan atau memang
karena diakibatkan oleh gejala alam sebagai akibat dari musim kemarau. Evaluasi dan proses hukum telah sering
dilaksanakan dalam menyikapi kejadian kebakaran hutan, namun kejadian kebakaran
hutan di Indonesia tetap ” jalan terus bagaikan jalan tol “ tanpa ada upaya
yang siginifikan dari semua stake holder dalam upaya mencegah kembali terjadinya
kebakaran hutan di Indonesia. Berbagai
permasalahan atau hambatan seringkali menjadi “ faktor pembenaran atau
permakluman “ terhadap kejadian
kebakaran hutan di Indonesia misalkan penegakan hukum yang tidak tepat,
fenomena alam el nino, ketiadaan anggaran pemadaman di daerah,
perilaku/kebiasaan masyarakat membuka lahan dengan membakar, dan lain
sebagainya sehingga menyebabkan
perhatian dan evaluasi yang serius semua pihak terhadap kebakaran hutan berlalu
begitu saja ketika bencana kebakaran hutan berhenti dengan sendirinya karenanya
datangnya musim hujan.
Pada setiap moment bencana kebakaran
hutan, seringkali perhatian masyarakat dunia khususnya masyarakat Indonesia hanya
terfokus pada dampak kebakaran hutan terhadap manusia, sedangkan terhadap kehidupan
flora dan fauna seringkali luput dari upaya penanggulangan atau penyelamatan
khususnya pada satwa liar. Seringkali
bencana kebakaran hutan belum menjadi perhatian serius ketika belum memberikan
dampak terhadap manusia, padahal sebelum berdampak pada manusia kebakaran hutan
telah berdampak pada kehidupan flora dan fauna beserta seluruh ekosistem hutan.
Jika kita menyimak pemberitaan di media massa baik media cetak maupun media
elektronik, maka pemberitaan tentang dampak kebakaran hutan terhadap kehidupan
flora dan fauna sangat sedikit di ulas namun sebaliknya jika telah berdampak
pada manusia maka akan menjadi “
headlines” pada setiap media massa dan menjadi isu publik yang ramai
diperbincangkan. Dampak kebakaran hutan
terhadap kehidupan flora dan fauna khususnya satwa liar hanya menjadi konsumsi
kajian bagi para pemerhati lingkungan, praktisi dan akademisi. Sangat jarang
menjadi headlines atau berita utama yang diangkat/diulas oleh media cetak
maupun elektronik sehingga seringkali tidak menjadi bagian dari isu atau
perhatian publik yang berdampak pada kurangnya kesadaran dan perhatian
masyarakat terhadap kelestarian kehidupan flora dan fauna khususnya satwa liar
pada saat bencana kebakaran hutan terjadi.
Oleh karena itulah dalam ulasan makalah ini mencoba untuk menguraikan
dampak dan respon satwa liar terhadap bencana kebakaran hutan. Makalah ini bersumber dari beberapa jurnal
atau makalah, buku, hasil penelitian dan ulasan berita di media massa yang mengkaji
atau mengulas tentang respon satwa liar terhadap bencana kebakaran hutan dan
dampak kebakaran hutan terhadap kehidupan satwa liar. Berdasarkan hasil penulusuran artikel,
makalah, hasil penelitian dan sebagainya relatif sangat sedikit yang membahas atau
mengulas tentang respon satwa liar
terhadap bencana kebakaran hutan dan dampak kebakaran hutan terhadap kehidupan
satwa liar jika dibandingkan dengan isu atau topik lain terkait hutan dan
permasalahannya.
Tujuan dari penulisan makalah respon
satwa liar terhadap bencana kebakaran hutan dan dampak kebakaran hutan terhadap
kehidupan satwa liar antara lain :
1. Untuk mengkaji dan menguraikan
respon satwa liar terhadap bencana kebakaran hutan dan dampak kebakaran hutan
terhadap kehidupan satwa liar;
2. Sebagai bahan informasi bagi publik
atau masyarakat tentang respon satwa liar terhadap bencana kebakaran hutan dan
dampak kebakaran hutan terhadap kehidupan satwa liar;
3. Untuk menggalang respon dan simpati
publik terhadap konservasi kehidupan sata liar pasca bencana kebakaran hutan.
B. PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN
Penyebab kebakaran hutan khususnya
di Indonesia seringkali menjadi perdebatan antara kebakaran alami (terjadinya
kebakaran karena proses alami) dan kebakaran yang disengaja (sengaja dibakar
oleh manusia). Kebakaran dan pembakaran
merupakan sebuah kata dengan kata dasar yang sama tetapi mempunyai makna yang
berbeda. Kebakaran indentik dengan kejadian yang tidak disengaja sedangkan
pembakaran identik dengan kejadian yang sengaja diinginkan tetapi tindakan pembakaran
dapat juga menimbulkan terjadinya suatu kebakaran. Penggunaan istilah kebakaran
hutan dengan pembakaran terkendali merupakan suatu istilah yang berbeda.
Penggunaan istilah ini sering kali mengakibatkan timbulnya persepsi yang salah
terhadap dampak yang ditimbulkannya.
Kebakaran-kebakaran yang sering
terjadi digeneralisasi sebagai kebakaran hutan, padahal sebagian besar (99,9%)
kebakaran tersebut adalah pembakaran yang sengaja dilakukan maupun akibat
kelalaian, baik oleh peladang berpindah ataupun oleh pelaku binis kehutanan
atau perkebunan, sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam (petir, larva
gunung berapi). Saharjo (1999) menyatakan bahwa baik di areal HTI, hutan alam
dan perladangan berpindah dapat dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan di
Indonesia adalah berasal dari ulah manusia, entah itu sengaja dibakar atau
karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada saat penyiapan lahan.
Bahan bakar dan api merupakan faktor penting untuk mempersiapkan lahan
pertanian dan perkebunan (Saharjo, 1999). Pembakaran selain dianggap mudah dan
murah juga menghasilkan bahan mineral yang siap diserap oleh tumbuhan.
Banyaknya jumlah bahan bakar yang dibakar di atas lahan akhirnya akan
menyebabkan asap tebal dan kerusakan lingkungan yang luas. Untuk itu, agar
dampak lingkungan yang ditimbulkannya kecil, maka penggunaan api dan bahan
bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara cermat dan hati-hati. Untuk
menyelesaikan masalah ini maka manajemen penanggulangan bahaya kebakaran harus
berdasarkan hasil penelitian dan tidak lagi hanya mengandalkan dari
terjemahan textbook atau pengalaman dari
negara lain tanpa menyesuaikan dengan keadaan lahan di Indonesia (Saharjo,
2000). Kebakaran hutan dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:
2. Kecerobohan manusia antara lain membuang
puntung rokok sembarangan dan lupa mematikan api di perkemahan;
3. Aktivitas vulkanis seperti terkena
aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung berapi;
4. Tindakan yang disengaja seperti
untuk membersihkan lahan pertanian atau membuka lahan pertanian baru dan
tindakan vandalisme;
Secara teori kebakaran hutan,
kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak, adalah sebuah kebakaran yang terjadi
di alam liar, tetapi juga dapat memusnahkan rumah-rumah dan lahan
pertanian disekitarnya. Selain itu, kebakaran hutan dapat didefinisikan sebagai
pembakaran yang tidak tertahan dan menyebar secara bebas dan mengonsumsi bahan
bakar yang tersedia di hutan, antara lain terdiri dari serasah, rumput, cabang
kayu yang sudah mati, dan lain-lain. Istilah Kebakaran hutan di dalam
Ensiklopedia Kehutanan Indonesia disebut juga Api Hutan. Selanjutnya dijelaskan
bahwa Kebakaran Hutan atau Api Hutan adalah Api Liar yang terjadi di dalam
hutan, yang membakar sebagian atau seluruh komponen hutan. Dikenal ada 3 macam
kebakaran hutan, Jenis-jenis kebakaran hutan tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1.
Api permukaan atau kebakaran permukaan yaitu
kebakaran yang terjadi pada lantai hutan dan membakar seresah, kayu-kayu kering
dan tanaman bawah. Sifat api permukaan cepat merambat, nyalanya besar dan
panas, namun cepat padam. Dalam kenyataannya semua tipe kebakaran berasal dari
api permukaan.
2.
Api tajuk atau kebakaran tajuk yaitu
kebakaran yang membakar seluruh tajuk tanaman pokok terutama pada jenis-jenis
hutan yang daunnya mudah terbakar. Apabila tajuk hutan cukup rapat, maka api
yang terjadi cepat merambat dari satu tajuk ke tajuk yang lain. Hal ini tidak
terjadi apabila tajuk-tajuk pohon penyusun tidak saling bersentuhan.
3.
Api tanah adalah api yang membakar
lapisan organik yang dibawah lantai hutan. Oleh karena sedikit udara dan bahan
organik ini, kebakaran yang terjadi tidak ditandai dengan adanya nyala api.
Penyebaran api juga sangat lambat, bahan api tertahan dalam waktu yang lama
pada suatu tempat (anonim, 2015).
C. DAMPAK KEBAKARAN HUTAN
Kebakaran hutan yang terjadi pada suatu daerah atau
negara, dapat menimbulkan dampak yang sangat serius dan kompleks. Jika di kaji secara mendalam maka dampak yang
ditimbulkannya tidak hanya berdampak pada aspek ekologi dan kerusakan
lingkungan saja ,namun berdampak pada
aspek lainnya. Menurut Rully Syumanda
(2003), menyebutkan ada 4 aspek yang terindikasi sebagai dampak dari kebakaran
hutan. Keempat dampak
tersebut mencakup dampak terhadap kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi, dampak
terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan, dampak terhadap hubungan antar
negara, serta dampak terhadap perhubungan dan pariwisata. Kebakaran hutan
memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan sosial, budaya, dan
ekonomi yang diantaranya meliputi:
1.
Terganggunya
aktivitas sehari-hari; asap yang diakibatkan oleh kebakaran hutan secara
otomatis mengganggu aktivitas manusia sehari-hari, apalagi
bagi yang aktivitasnya dilakukan di luar ruangan.
2.
Menurunnya
produktivitas; terganggunya aktivitas manusia akibat kebakaran hutan dapat
mempengaruhi produktivitas dan penghasilan.
3.
Hilangnya
sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan; Selain itu, bagi
masyarakat yang menggantungkan hidup dari mengolah hasil hutan, dengan
terbakarnya hutan berarti hilang pula area kerja (mata pencarian).
4.
Meningkatnya
hama; kebakaran hutan akan memusnahkan sebagian spesies dan merusak kesimbangan
alam sehingga spesies-spesies yang berpotensi menjadi hama tidak terkontrol.
Selain itu, terbakarnya hutan akan membuat sebagian satwa kehilangan habitat yang kemudian
memaksa mereka untuk keluar dari hutan dan menjadi hama seperti gajah, monyet, dan binatang lain.
5.
Terganggunya
kesehatan; kebakaran hutan berakibat pada pencemaran udara oleh debu, gas SOx,
NOx, COx, dan lain-lain dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan
manusia, antara lain infeksi saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit,
iritasi mata, dan lain-lain.
6.
Tersedotnya
anggaran negara; setiap tahunnya diperlukan biaya yang besar untuk menangani
(menghentikan) kebakaran hutan dan untuk merehabilitasi hutan yang terbakar
serta berbagai dampak lain semisal kesehatan masyarakat dan bencana alam yang
diambilkan dari kas negara.
7.
Menurunnya
devisa negara; hutan telah menjadi salah satu sumber devisa negara baik dari
kayu maupun produk-produk non kayu lainnya, termasuk pariwisata. Dengan
terbakarnya hutan sumber devisa akan musnah. Selain itu, menurunnya
produktivitas akibat kebakaran hutan pun pada akhirnya berpengaruh pada devisa
negara.
8.
Dampak terhadap hubungan antar
negara; asap hasil kebakaran hutan menjadi masalah serius bukan
hanya di daerah sekitar hutan saja. Asap terbawa angin hingga ke daerah lain
bahkan mencapai berbagai negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan
Brunei Darussalam.
9.
Dampak terhadap perhubungan dan
pariwisata; kebakaran hutan pun berdampak pada pariwisata baik
secara langsung ataupun tidak. Dampaknya seperti ditutupnya obyek wisata hutan dan berbagai sarana
pendukungnya, terganggunya transportasi, terutama transportasi udara. kesemuanya
berakibat pada penurunan tingkat wisatawan secara nasional.
D. DAMPAK KEBAKARAN
HUTAN DAN RESPON SATWA LIAR
Sebagaimana topik dan tujuan dari
makalah ini yang fokus pada pembahasan mengenai dampak kebakaran hutan terhadap
satwa liar dan respon satwa liar terhadap kebakaran hutan. Dampak kebakaran
hutan terhadap satwa liar diasumsikan sebagai proses atau peristiwa kebakaran
hutan yang langsung berdampak pada
kehidupan satwa liar sedangkan respon satwa liar terhadap kebakaran hutan
merupakan reaksi satwa liar baik secara langsung maupun secara jangka panjang
dalam menyikapi terjadinya kebakaran hutan dan pasca kebakaran hutan terjadi.
Pada setiap bencana kebakaran hutan
yang terjadi dalam suatu wilayah maka secara langsung dipastikan akan
memberikan dampak terhadap kehidupan satwa liar. Dampak kebakaran hutan terhadap satwa lair
yang secara kasat mata terlihat adalah banyak satwa liar yang ikut terbakar dan
menyebabkan luka bakar atau kematian bagi satwa liar. Luka bakar yang dialami
oleh satwa liar akan menyebabkan cacat tubuh atau bahkan kematian bagi satwa
liar. Belum lagi dampak jangka panjang
lainya seperti kehilangan habitat, kehilangan sumper pakan, kehilangan sumber
air, kehilangan jenis dan genetik, dan lain sebagainya yang dampaknya
memerlukan adaptasi yang cukup lama bagi satwa liar. Dampak yang diakibatkan oleh bencana kebakaran
hutan terhadap satwa liar sangat mempengaruhi
pergerakan, distribusi dan populasi satwa liar, bahkan dapat pula
menyebabkan kepunahan suatu jenis satwa liar khususnya bagi satwa liar yang
endemik dan memiliki populasi yang sangat sedikit di alam atau hutan yang
terbakar. Menurut Prof. Dr. Ani
Mardiastuti dalam tulisannya yang dimuat dalam artikel elektronik ipbmag yang
menyatakan bahwa kebakaran hutan dapat menyebabkan kematian
langsung bagi satwa liar akibat terbakar langsung maupun kekurangan oksigen karena
banyak menghirup asap pembakaran.
Selain itu, peristiwa kebakaran hutan akan menyebabkan banyak satwa liar
yang secara komposisi jenis kelamin dalam suatu komunitas atau populasi tidak
seimbang atau bahkan tidak lengkap sehingga kesulitan dalam melakukan
perkembangbiakan atau perkawinan karena ketidakadanya
pasangan dari satwa liar sehingga lambat laut akan mengalami penurunan populasi
yang pada akhirnya akan mengalami
kepunahan.
Kerusakan habitat yang
diakibatkan oleh kebakaran hutan khususnya tumbuhan atau tanaman yang menjadi
sumber pakan bagi satwa liar juga ikut mempengaruhi pergerakan, distribusi dan
populasi satwa liar. Menurut Firmansyah
(1999), banyak peneliti antara lain Klein (1970), Moss (1967), Schultz (1969),
Watson dan Moss (1972) dalam Kozlowski (1974)
mengemukakan bahwa kualitas dari makanan merupakan faktor pembatas bagi
sebagian besar satwa herbivore. Sehingga
jika tumbuhan atau tanaman yang menjadi sumber pakan bagi satwa liar herbivore
hilang atau terbakar maka akan mempengaruhi pola makan bagi satwa herbivore dan
pola mencari mangsa bagi satwa liar karnivor.
Tumbuhan yang sebelum terjadi kebakaran hutan menjadi pelindung bagi
satwa liar herbivore terhadap pemangsa atau predator menjadi hamparan terbuka
sehingga dapat menguntungkan dan memudahkan bagi predator dalam mencari mangsa.
Dampak kebakaran hutan terhadap
satwa liar sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan awal sangat beragam
dan hampir mencakup keseluruhan kehidupan satwa liar. Semakin besar api akibat kebakaran hutan maka
akan semakin berdampak pada satwa liar karena terjadi peningkatan suhu dan
asap. Begitu pula terhadap luas areal
yang terbakar akan semakin mempersempit habitat, pergerakan dan distribusi
populasi satwa liar. Oleh karenanya,
pembahasan dampak kebakaran hutan terhadap semua jenis satwa liar dan respon
satwa liar tidak memungkinkan dilakukan karena akan sangat banyak species yang
perlu dikaji dan diuraikan dalam makalah ini.
Untuk itu dalam makalah ini pembahasan dampak kebakaran hutan dan respon
satwa liar dibatasi menurut kelas dan satwa-satwa yang familiar dikenal oleh
manusia atau masyarakat seperti jenis-jenis burung, mamalia, reptil dan ampibi.
Dampak Kebakaran Hutan Terhadap
Burung
Burung
merupakan jenis satwa liar yang secara langsung tidak berdampak akibat
kebakaran hutan karena kemampuan terbangnya untuk menghindari api dan asap
sehingga relatif aman dari ancaman kebakaran.
Namun, berdampak pada anak-anak
burung yang belum dapat terbang, sarang dan habitat burung. Pada jenis-jenis burung yang daya jangkau
terbangnya pendek seperti pada jenis
burung yang hidupnya di permukaan tanah seperti jenis kasuari, gosong, maleo
dan jenis lainnya berdampak secara langsung terhadap kebakaran hutan. Firmasyah (1999)
menyatakan sebagian besar jenis burung adalah kelompok satwa yang dapat
beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya.
Namun, sebagian kecil lainnya
sangat peka terhaap perubahan lingkungan, sehingga burung dapat
digunakan sebagai salah satu indikator terhadap perubahan lingkungan.
Pea Island National Wildlife
Refuge, NC. Photo: U.S. Fish and Wildlife Service.
Jack
Lyon et al (2000) menyatakan bahwa penelitian dalam literatur menunjukkan bahwa
komunitas burung terganggu selama minimal 2 tahun pasca kebakaran hutan.
Spesies burung yang bersarang dan penggunaan padang rumput yang baik
disesuaikan dengan cepat, perubahan diprediksi dalam karakteristik habitat
terkait dengan kebakaran, meskipun kebakaran tersebut sering menghapus substrat
sarang burung dan tempat bersembunyi. Komunitas burung di South Dakota pasca 2
ke 3 bulan setelah kebakaran menunjukkan perubahan populasi yang dramatis
dengan proporsi tinggi penjajah, endurer, dan tanggapan avoider (Huber dan
Steuter 1984). Jenis burung Sandpiper Upland dan west Meadowlark menunjukkan
peningkatan populasi yang cukup besar dibandingkan dengan daerah-daerah yang
tidak terbakar, sementara burung belalang dan burung hitam bersayap merah memiliki
kelimpahan yang jauh lebih rendah. Penelitian
lain pada komunitas burung postfire adalah dilakukan selama periode lebih lama
dari studi di atas. Selama 2 tahun pertama setelah kebakaran padang rumput di
tenggara Arizona, kebanyakan populasi burung berubah, tapi beberapa spesies
ditinggalkan atau benar-benar baru dalam habitat tersebut (Bock dan Bock 1978).
Hampir 75 persen dari spesies tanggapan diklasifikasikan sebagai bunglon,
endurer, dan pemeras. Di Saskatchewan, komunitas burung juga berubah dalam 2
tahun pertama setelah padang rumput api (Zimmerman 1992). Lebih dari setengah dari
populasi burung menunjukkan tanggapan yang berbeda. Tidak ada tanggapan
diklasifikasikan sebagai avoider, dan hanya beberapa tanggapan yang penjajah
dan pemeras. Kelimpahan spesies kunci seperti claycolored dan burung pipit
savana masih substansial di bawah tingkat terbakar di tahun 3, sehingga secara
keseluruhan kelimpahan secara konsisten lebih rendah di daerah yang terbakar.. Spesies burung yang sama dapat merespon
secara berbeda untuk kebakaran di habitat yang berbeda. Misalnya, burung pipit bidang
di pusat Illinois lebih memilih untuk berkembang biak di padang rumput yang ditumbuhi
dengan semak dan pohon gugur muda (shrubgrassland), tetapi mereka juga
berkembang biak di padang rumput tanpa sekat dan di hutan terbuka (Best 1979).
Secara umum, dampak kebakaran hutan pada burung dapat diringkas
dengan menggunakan sistem klasifikasi berikut menurut Koordinasi Kelompok
Koordinasi Nasional Wildfire (2001):
• Spesies yang tidak
toleran terhadap api akan mengalami penurunan kelimpahan setelah kebakaran dan
dampak kehadirannya hanya di daerah yang ditandai dengan tingkat keparahan dan
frekuensi api sangat rendah. Spesies ini, terkait erat dengan hutan kanopi
tertutup dan umumnya lebih memilih bersarang dan mencari makan pada area yang
padat dan tertutup semak atau tumbuhan. Ini termasuk sarang burung tanah yang
menjadi tidak toleran terhadap api ketika kebakaran karena menghilangkan sumber serangga, menghancurkan
sarang yang ada, dan menghapus penutup dan pelindung yang diperlukan untuk
membangun sarang yang baru. Contoh spesies burung yang tidak toleran terhadap
api meliputi jenis hermit thrush, red-breasted nuthatch dan brown creeper;
• Jenis burung tahan atau
tidak terpengaruh oleh api, yaitu jenis burung yang popuasinya tidak meningkat
atau menurun setelah kebakaran. Spesies ini sering memiliki niche atau relung
ekologi yang mencakup komunitas tumbuhan yang tahan dan toleran terhadap api.
Karena kualitas ini generalis dan oportunistik, spesies ini sering menunjukkan
fleksibilitas yang tinggi dalam menanggapi api. Contohnya termasuk burung
gagak, burung raven, robin dan banyak jenis unggas air;
• Jenis burung yang mampu beradaptasi terhadap api dan mengalami
peningkatan kelimpahan, karena preferensi mereka terhadap api pada habitat terbuka.
Banyak burung penyanyi, raptor, pelatuk dan burung pembuat sarang termasuk
dalam kategori ini. Misalnya, seperti yang dijelaskan dalam Smith (2000), pohon
yang luka bakar, terinfeksi dan membusuk, sering menyediakan situs bersarang
dan bertengger, awalnya untuk burung pelatuk dan kemudian untuk jenis burung
pembuat sarang . Setelah pohon tempat sarang ini jatuh, lokasi sarang
alternatif disediakan oleh pohon lain yang mati akibat api dan mengalami pembusukan (Smith 2000). Contoh
spesies yang mampu beradaptasi terhadap api meliputi jenis western bluebird,
vesper, Brewer dan burung pipit savana, elang Cooper, downy, hairy and
three-toed woodpeckers;
• Jenis burung yang
tergantung pada api hanya terjadi di daerah suksesi awal seperti yang
dipengaruhi oleh kebakaran. Contoh spesies termasuk jenis burung belibis biru,
crane sandhill dan kalkun liar.
Dampak Kebakaran Hutan
Terhadap Mamalia
Secara umum kebakaran hutan berdampak pada kehidupan satwa lair
mamalia, namun dalam pembahasan makalah ini hanya beberapa contoh mamalia yang
akan dibahas terkait dengan kebakaran hutan.
Berdasarkan hasil penelusuran literatur terkait dampak kebakaran hutan
dan respon mamalia banyak ditemukan hasil-hasil penelitian yang mengkaji jenis
satwa orang utan, macaca, rusa, beruang, dan jenis satwa yang familar
lainnya. Secara insting ketika terjadi
kebakaran hutan maka mamalia dengan spontan akan menghindari kebakaran dan
mencari lokasi yang tidak terbakar. Jangkauan pergerakan mamalia akan sangat
tergantung dari luas hutan yan terbakar.
Pada primata menurut Firmansyah (1999), bentuk toleansinya terhadap
kebakaran hutan adalah dengan memberikan respon terhadap perubahan habitat
akibat kebakaran hutan dalam bentuk memilih jenis makanan tertentu dihutan
primer atau mengkonsumsi dalam jumlah besar
daun-daun yang belum matang dan insecta.
Munculnya tunas-tunas muda pada tumbuhan, pucuk-pucuk pohon dan
daun-daun/rumput muda menyebabkan populasi insecta meningkat sehingga menjadi
alternatif sumber pakan bagi primata seiringnya dengan berkurangnya tumbuhan
yang memiliki buah sebagai makanan utama pada primata. Jenis-jenis primata yang
terkait hal tersebut antara lain jenis Macaca (beruk), orang utan dan Gibon (Uwa uwa) (Suzuki, 1988).
Pada penelitian Susilo (1986) dalam Firmansyah (1999), makanan
orang utan masih cukup tersedia pasca kebakaran hutan. Terdapat sedikit perubahan pola mencari makan
terhadap orang utan terkait dengan lamanya waktu makan, perjalanan mencari
makan dan waktu istirahat (resting) pasca kebakaran hutan. Lama waktu makan sedikit menurun yang
kemungkinan disebabkan karena kualitas makanan yang berubah/menurun dari
biasanya sebelum kebakaran hutan. Begitu
pula pada aktifitas mencari makan menjadi lebih lama karena keterbatasan
sumberdaya makan yang tersedia pasca kebakaran hutan, sehingga menjadikan waktu
istirahat (resting) Orang Utan lebih banyak jka dibandingkan dengan sebelum
kebakaran hutan. Berikut adalah tabel
yang menunjukan perilaku Orang Utan sebelum dan sesudah kebakaran hutan terkait
dengan aktifitas mencari makan :
Tabel 1. Perilaku Orang Utan sebelum dan sesudah kebakaran (%)
Uraian
|
Sebelum
kebakaran
|
Sesudah
kebakaran
|
Peneliti
|
Rodman (1977)
|
Galdikas (1980)
|
A.Susilo (1986)
|
Lokasi
|
?
|
TN Tanjung Puting
|
Mentoko
|
Prefab
|
Waktu
|
05.30 – 18.30
|
?
|
06.00 – 19.00
|
06.00 – 19.00
|
Feeding
|
45,9
|
60,1
|
48,6
|
32,2
|
Travel
|
14,1
|
8,7
|
9,5
|
11,3
|
Resting
|
39,2
|
31,2
|
41,9
|
56,5
|
Selanjutnya
hasil penelitian Susilo dan Tangketasik 1988 di Taman Nasional Kutai diketahui
bahwa Monyet (Macaca fascicularis)
mampu melakukan adaptasi dengan mengubah pola makan dan daerah jelajahnya (home
range) pasca kebakaran hutan. Monyet (Macaca fascicularis) mengubah menu makan
primernya dari buah-buahan menjadi dedaunan masak dan serangga. Empat bulan sebelum kebakaran Monyet (Macaca
fascicularis) mengkonsumsi 61 jenis pohon buah dan bunga dari 18 jenis
tanaman. Empat bulan setelah kebakaran terjadi
perubahan pola makan Monyet (Macaca
fascicularis) dengan konsumsi variasi makanan yang lebih sedikit menjadi 31 jenis buah dan dan bunga dari 8
jenis tanaman. Terjadinya penurunan
variasi makanan terhadap buah dan bunga karena Monyet (Macaca fascicularis) mulai memakan daun-daunan dan serangga sebagai
respon terhadap ketersediaan sumberdaya yang ada pasca kebakaran hutan.
Pada
kasus lainnya, kebakaran hutan juga berdampak pada kelompok mamalia herbivore
berkuku (ungulates), namun para peneliti banyak menjumpai bahwa secara tidak
langsung kelompok ini juga termasuk dalam kelompok yang diuntungkan pasca
kebakaran hutan. Keuntungan yang dimaksud adalah terjadinya suksesi tanaman
baru yang merupakan sumber pakan bagi sebagian besar kelompok herbivore berkuku
seperti jenis rusa, kijang, banteng, bison dan satwa hebivora sejenis
lainnya. Leighton (1983) menyatakan
jenis Rusa Sambar (Cervus unicolor) dan
Kijang (Muntiacus muntjak) dan Kancil
(Tragulus sp) yang hidup di Taman
Nasional Kutai meningkat populasinya setelah kebakaran hutan karena lantai
hutan dipenuhi oleh tanaman bawah dan banyak jenis tumbuhan yang merupakan
makanan satwa ini. Begitupula yang
terjadi pada Rusa Merah (Cervus elaphus) dan Rusa Roe (Capreolus capreolus) yang hidup di
Hutan bagian selatan barat Polandia, pasca kebakaran hutan meningkat
populasinya karena ketersediaan makanan dari tumbuhan atau tanaman yang baru
pasca kebakaran hutan (Borkowsksi, 2004).
Biswell (1961) dalam Jack Lyon et al (2000) melaporkan
peningkatan lebih dramatis kepadatan rusa di chamise kaparal naik dari 30 rusa
per mil persegi menjadi 120 rusa per mil persegi tahun pertama setelah kebakaran
hutan. Sebagai contoh, kebakaran besar tahun 1988
di wilayah Greater Yellowstone menewaskan sekitar 1 persen dari total populasi
rusa di daerah itu, dengan sebagian besar kematian ini diakibatkan karena suhu
yang terlalu panas dan asap. Ketika mengalami kebakaran, beberapa studi telah
mengamati bahwa hewan-hewan kecil tampak lebih mudah panik daripada yang besar,
hewan yang memliki ukuran tubuh besar lebih cepat dalam bergerak. Bahkan,
mamalia yang lebih besar sering digambarkan bergerak dengan tenang di
sekeliling api. Misalnya, dalam Smith (2000) tidak ada mamalia besar yang
diamati melarikan diri dari kebakaran Yellowstone, dengan sebagian besar muncul
"acuh tak acuh" bahkan untuk kebakaran yang besar. Beberapa spesies termasuk bison dan rusa
digambarkan sedang merumput dan beristirahat dalam 100 meter dari kebakaran
hutan (anonim, 2001).
Gambar Rusa di China Ten Fire, Nez Perce National Forest,
ID. Photo: U.S. Fish and Wildlife Service
Jika
pada mamalia herbivore relatif mampu beradapatasi pasca kebakaran hutan maka
akan muncul pertanyaan bagaimana dengan mamalia karnivora dan omnivora?
Berdasakan hasil penelitian disebutkan pada dasarnya mamalia karnivore relatif
menyesuaikan dengan pergerakan mamalia herbivore yang merupakan sumber pakan
bagi mamalia karnivore. Jack Lyon et al (2000) menyatakan bahwa karnivora besar
dan omnivora adalah species oportunistik dengan pergerakan yang luas. Populasi
mereka mengalami adaptasi terhadap kebakaran hutan, tetapi mereka cenderung
untuk berkembang di daerah di mana mangsa yang mereka sukai atau mamalia
herbivora yang paling berlimpah sering berada pasca kebakaran hutan.
Respon
satwa karnivora terhadap kebakaran hutan sangat tergantung pada respon
herbivora. Artinya, jika populasi mangsa meningkat, maka populasi karnivora
juga akan meningkat. Sebagai contoh, sebuah penelitian disorot dalam Smith
(2000), ditentukan bahwa penurunan mamalia kecil akibat kebakaran juga mengakibatkan
penurunan jumlah Luwak Amerika. Predator lainnya, seperti marten pinus, juga
diketahui berdampak negatif akibat kebakaran, kebakaran biasanya merugikan
mangsa mereka dan keseluruhan habitatnya. Kebakaran yang besar dapat
mengakibatkan kematian fauna sehingga menguntungkan karnivora dan omnivora
termasuk beruang grizzly, beruang hitam, anjing hutan, elang botak elang emas,
dan gagak. Sebagai contoh, setelah musim kebakaran British Columbia tahun 2003,
beruang hitam yang diamati memakan bangkai ternak di daerah Barriere. Selain
peningkatan ketersediaan karkas, efek api pada mamalia omnivora, seperti
beruang, tergantung pada bagaimana habitat atribut seperti sumber makanan lain
dan situs tempat tidurnya terpengaruh. Misalnya, beruang sering berdampak ketika
sarang yang dibuatnya dihancurkan atau ketersediaan pakan meningkat melalui tumbuhnya
tunas kembali yang memproduksi semak sebagai sarangnya (Anonim, 2001).
Dampak Kebakaran
Hutan Terhadap Reptil dan Amfibi
Penelitian mengenai dampak kebakaran hutan terhadap reptil dan
amfibi sangat sedikit dilakukan jika dibandingkan dengan satwa liar lainya.
Oleh karenanya, sangat sedikit data hasil penelitian yang dapat diuraikan dalam
makalah ini. Secara logika tentunya dampak secara langsung kebakaran hutan
terhadap kelompok reptil dan ampibi
adalah ikut terbakar dan selanjutnya mati terbakar. Kelompok reptil dan ampibi
umumnya memiliki pergerakan yang lambat sehingga peluang lolos dari kebakaan
hutan relatif kecil. Namun, beberapa
species mampu lolos dari api dengan cara masuk ke dalam genangan air pada
daerah yang masih tergenang air maupun ke dalam lubang-lubang tanah atau gua
yang tidak tembus suhu panas dari api. Pasca
kebakaran hutan, reptil dan ampibi dapat beradaptasi dengan kondisi habitat
yang mengalami suksesi dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dan
analisa kebakaran hutan dan hubungannya dengan satwa liar, maka dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Kebakaran hutan tidak
hanya memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan sosial, budaya, dan
ekonomi, namun juga secara ekologi khususnya kehidupan satwa liar;
2. Dampak yang
ditimbulkan kebakaran hutan terhadap satwa liar dapat secara langsung berupa
kematian, luka bakar, cacat tubuh yang dapat menyebabkan penurunan jumlah
populasi dan kepunahan dan secara tidak langsung berupa perubahan pola makan dan
distribusi/pergerakan satwa liar;
3. Penelitian-penelitian
tentang respon satwa liar terhadap kebakaran hutan dan dampak kebakaran hutan
terhadap satwa liar masih jarang dilakukan sehingga perlu ditingkatkan agar
penanganan satwa liar ketika kebakaran hutan dan pasca kebakaran hutan dapat
lebih dimaksimalkan;
4. Publikasi hasil-hasil
penelitian tentang satwa liar dan kebakaran hutan masih menjadi konsumsi
masyarakat akademik sehingga kurang diketahui oleh publik sehingga diperlukan
publikasi melalui media massa dengan format yang lebih menarik.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim;National Wildfire Coordinating Group. 2001. Fire Effects
Guide. Available online: http://
www.nwcg.gov/pms/RxFire/FEG.pdf. 313 p.
Brown, J.K. and J.K. Smith, eds. 2000. Wildland fire in
ecosystems: effects of fire on flora. Gen. Tech. Rep. RMRS-GTR-42-vol. 2.
Ogden, UT: U.S. Department of Agriculture, Forest Service, Rocky Mountain
Research Station. 257 p.
Firmansyah K. 1999.
Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Satwa Liar. Makalah.
Availble online. http://www.slideshare.net.
Gleason,
KM dan Gillete,S. 2009. Myth Busting About Wildlife and Fire:Are Animals Getting Burned?. Available
online:Fire Management Today. Volume 69 • No. 1 • Winter 2009;
J.
Borkowski. 2004. Distribution and
habitat use by red and roe deer following a large forest fire in South-western
Poland.
Available online at www.sciencedirect.com
Susilo,
A; dan Tangketasik, J. 1988. Habitat dan Perilaku Makan Macaca fascicularis di Hutan Bekas Terbakar Mentoko Taman Nasional
Kutai Kalimantan Timur. Wanatrop 3.