A. Pendahuluan
Media
sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah
berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial,
wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk
media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.
Pendapat lain mengatakan bahwa media sosial adalah media online yang mendukung
interaksi sosial dan media sosial menggunakan teknologi berbasis web yang
mengubah komunikasi menjadi dialog interaktif. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein
mendefinisikan media sosial sebagai “sebuah kelompok aplikasi berbasis internet
yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang
memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content”. Jejaring sosial merupakan situs dimana setiap
orang bisa membuat web page pribadi, kemudian terhubung dengan teman-teman
untuk berbagi informasi dan berkomunikasi
(Wijayanti, 2015).
Perkembangan media sosial di dunia
khususnya Indonesia semakin berkembang pesat sejak didukung infrastruktur baik
dari perangkat, jaringan internet maupun teknologi. Menurut Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) di tahun 2012, 63 juta masyarakat
Indonesia terhubung dengan Internet dan sebanyak 95 persen aktivitas akses
dunia maya adalah membuka media sosial. Indonesia saat itu diramal akan menjadi
pengguna media sosial paling aktif dan dari segi jumlah paling besar. Mengapa
ini bisa terjadi, dikarenakan mobile internet yaitu web perangkat mobile dan
harga smartphone semakin terjangkau buat semua kalangan. Sejak diperkenalkan The Third Screen (layar
ketiga) oleh Apple Corp. yaitu dengan kehadirian Iphone di tahun 2007 dan Ipad
(kategori Phablet) di tahun 2010, semakin mempopulerkan istilah ini. The third
screen adalah peranti yang digunakan oleh telepon selular yang memiliki
perangkat komputasi portable. Phablet adalah gabungan fungsi telepon dan tablet
yang merupakan telepon pintar yang memiliki ukuran lebih dari besar dari
handphone yang berkisar 5 dan 8 inchi. Istilah ini merupakan bagian dari
perkembangan dan kemajuan teknologi di bidang infrastruktur dan jaringan
komunikasi, sehingga makin meningkatkan perkembangan media sosial di tanah air
Indonesia. Dari usia tua, muda, remaja dan anak setidaknya memegang salah satu
alat teknologi ini untuk keseharian mereka dan menjadi barang utama dan
menemani keseharian (Anonim, 2015).
Saat ini media sosial tidak hanya
sebatas berfungsi sebagai alat komunikasi saja, tetapi telah menjadi alat multi
fungsional yang dapat digunakan untuk menunjang kebutuhan hidup manusia baik
itu berupa pekerjaan rutinitas, bisnis, makan, belanja, konseling, pengobatan
dan fungsi lainnya. Sehingga hampir dipastikan bahwa umumnya masyarakat saat
ini khususnya pengguna mobile handphone, gadget dan sejenisnya tidak bisa lepas
dari aktifitas media sosial. Begitu
pesatnya laju perkembangan media sosial terhadap masyarakat sehingga
pengaruhnya begitu terasa terhadap perilaku dan budaya masyarakat dunia
khususnya di Indonesia. Perilaku selfie
dan curhat (curahan hati) di media sosial merupakan perilaku masyarakat yang
saat ini paling banyak dilakukan oleh masyarakat sehingga terkadang tidak
terkendali dan melanggar nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Pengaruh media sosial yang
begitu besar terhadap perilaku dan budaya masyarakat ternyata ikut berimbas
pula pada kehidupan makhluk hidup lainnya seperti tumbuhan dan hewan. Sama halnya dengan manusia, pengaruh atau dampak
media sosial terhadap tumbuhan dan hewan dapat berdampak positif maupun
negatif. Salah satu kelompok hewan atau
satwa yang terkena dampak dari perkembangan media sosial adalah kelompok satwa
liar yaitu jenis-jenis hewan atau satwa yang hidup liar di alam dan tidak
terdomestifikasi.
Satwa liar merupakan salah satu
kelompok satwa yang sangat rentan dengan aktifitas atau kegemaran manusia
seperti berburu, memelihara dan menangkarkan satwa liar. Perilaku berburu dan memelihara satwa liar
yang dilakukan manusia merupakan budaya yang telah dilakukan sejak manusia
membutuhkan sumber makanan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun seiring dengan perkembangan zaman,
terjadi pergeseran tujuan perburuan dan memelihara satwa liar yang dilakukan
oleh manusia yaitu dari kebutuhan untuk sumber makanan menjadi sekedar
pemenuhan hobi, kegemaran, olahraga, sebagai bahan obat/kosmetik dan menunjukan
status sosial. Makin meningkatnya
perkembangan teknologi seperti bidang komunikasi yaitu internet dan mobile handphone
dan sejenisnya khususnya jaringan media sosial berdampak pada aktifitas
perburuan dan memelihara satwa liar.
Dampak media sosial terhadap satwa liar baik langsung maupun tidak
langsung dapat memberikan dampak positif maupun dampak negatif bagi kelestarian
satwa liar.
B.
Dampak Positif Media Sosial Terhadap Konservasi Satwa
Liar
Media sosial baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat memberikan dampak positif bagi kelestarian satwa
liar. Dampak positif tersebut antara
lain sebagai media penyuluhan dan sosialisasi konservasi satwa liar dan sebagai
media pengawasan dan pengontrol peredaran, perdagangan dan perburuan satwa liar.
1.
Sebagai media
penyuluhan dan sosialiasi konservasi satwa liar
Media
sosial saat ini merupakan salah satu media komunikasi massa yang sangat efektif
dalam memberikan informasi dan penyuluhan terhadap masyarakat karena hampir
sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini menggunakan media sosial sebagai
sarana komunikasi. Data pengguna media
sosial di Indonesia yang di rilis oleh Jaringan
We Are Social pada tahun 2014 sebanyak ± 71 juta jiwa pengguna atau sekitar 28
% dari jumlah penduduk Indonesia. Data tersebut menunjukan jumlah yang sangat
besar dalam mengkampanyekan gerakan peduli kelestarian satwa liar dan anti perdagangan
dan perburuan satwa liar. Namun
sayangnya, kampanye-kampanye peduli
kelestarian satwa liar dan anti perdagangan dan perburuan satwa liar belum
banyak digunakan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, akademisi dan lembaga-lembaga sosial masyarakat yang peduli dengan
kelestarian satwa liar.
Informasi-informasi
dan kampanye tentang kelestarian satwa liar justru terkalahkan dengan maraknya
informasi terkait dengan perdagangan satwa liar dan aksi-aksi perburuan satwa
liar di media sosial. Oleh karenanya
diperlukan komitmen yang serius dan konsisten serta terpadu dari seluruh stake
holder yang berkompeten dengan kelestarian satwa liar untuk melakukan
langkah-langkah pencegahan dan penindakan terhadap peredaran dan perburuan
satwa liar. Langkah-langkah pencegahan dapat dilakukan dengan meningkatkan
kampanye peduli satwa liar di media sosial dengan bekerjasama dengan perusahaan
penyedia jasa media sosial sepert facebook, twitter, olx, dan sejenisnya untuk
menyediakan ruang atau media sosialiasi dan penyuluhan satwa liar dan memblokir
iklan-iklan atau aksi-aksi perburuan satwa liar oleh para pengguna media
sosial. Sebagai contoh kasus pada situs
toko bagus.com, berniaga.com (saat ini berubah nama menjadi olx) dan kaskus
sebelum tahun 2012 sering mengiklankan perdagangan satwa liar namun sejak
lembaga Pro Fauna melakukan komunikasi dicapai kesepakatan untuk tidak
mengiklankan perdagangan satwa liar hingga saat ini. Iklan-iklan peduli satwa liar seharusnya juga
dapat menjadi bagian dalam sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat
khususnya pengguna media sosial.
2.
Sebagai media
pengawasan dan pengontrol peredaran, perdagangan dan perburuan satwa liar.
Peredaran,
perdagangan dan aksi perburuan satwa liar melalui media sosial diklaim oleh
beberapa pihak semakin meningkat selama 10 tahun terakhir. Oleh karenanya diperlukan mekanisme atau
regulasi yang mengatur pengawasan dan penindakan terhadap peredaran,
perdagangan dan aksi perburuan satwa liar melalui media sosial. Media sosial
selain sebagai media peredaran, perdagangan dan aksi perburuan satwa liar juga
sekaligus dapat berfungsi sebagai media pengawasan dan pengontrol peredaran,
perdagangan dan aksi perburuan satwa liar.
Beberapa kasus terkait peredaran, perdagangan dan aksi perburuan satwa
liar melalui media sosial telah behasil diungkap dan diproses hukum berkat
adanya informasi awal dari media sosial.
Penegakan hukum sangat diperlukan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku
peredaran, perdagangan dan aksi perburuan satwa liar melalui media sosial. Oleh
karenanya diperlukan sosialisasi dan penyuluhan kepada seluruh masyarakat
khususnya pengguna media sosial untuk ikut serta melakukan pengawasan dan
pengontrolan terhadap peredaran, perdagangan dan aksi perburuan satwa liar.
Dengan teknologi yang semakin canggih saat ini, kejadian atau tindakan
kejahatan yang terjadi di suatu daerah dapat langsung direkam atau dilaporkan
ke pihak yang berwenang melalui media sosial.
Oleh karenanya, peran media sosial juga sangat vital dalam membantu
upaya pencegahan, pengawasan dan penindakan terhadap peredaran, perdagangan dan
aksi perburuan satwa liar.
C.
Dampak Negatif
Media Sosial Terhadap Konservasi Satwa Liar
Peredaran, perdagangan dan
perburuan terhadap satwa liar saat ini semakin meningkat dengan menggunakan
media sosial sebagai alat bantu dalam memperjualbelikan dan mempromosikan atau memamerkan dagangan dan
hasil buruan satwa liar. Berdasarkan
data ProFauna mencatat ada 3640 iklan di media sosial sepanjang tahun 2014 yang
menawarkan satwa liar dengan berbagai jenis, antara lain elang jawa, siamang,
surili, nuri merah kepala hitam, nuri bayan, kancil (Tragulus javanicus),
trenggiling (Manis javanica), kijang (Muntiacus mutjack), kucing
hutan (Prionailurus bengalensis), lutung jawa (Trachypithecus auratus),
kukang (Nycticebus sp), elang jawa (Nisaetus bartelsi), elang
hitam (Ictinaetus malayensis), kakatua raja (Probosciger atterimus)
dan kakatua seram (Cacatua molucensis) dan jenis satwa liar lainnya baik
yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi. Pada tahun 2015 Pro Fauna juga mencatat
setidaknya ada 5000 kasus perdagangan satwa secara online dan salah satunya
menggunakan media facebook, atau terjadi peningkatan iklan di media sosial
sebanyak 1360 iklan dari tahun 2014. Data ini menunjukan fakta yang cukup
mengkhawatirkan terhadap meningkatnya
aktifitas perdagangan satwa liar melalui media sosial setiap tahunnya. Bisa
dibayangkan betapa banyak jumlah satwa liar yang diperdagangkan melalui media sosial, belum lagi perdagangan
yang dilakukan secara langsung di pasaran khususnya bagi satwa liar yang tidak
dilindungi. Kondisi tersebut tentunya
sangat mengancam kelestarian satwa liar di Indonesia jika tidak ada upaya
pencegahan dan penindakan yang serius dan intensif dari aparat yang berwenang
maka dikhawatirkan akan semakin banyak satwa liar yang terancam punah.
Perdagangan satwa liar melalui
media sosial semakin meningkat karena disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
1.
Media
sosial sangat familiar dan mudah diakses dan digunakan transaksi oleh pelaku atau
penjual maupun pembeli satwa liar;
2.
Perdagangan
satwa liar di media sosial tidak membutuhkan biaya alias gratis;
3.
Transaksi
perdagangan satwa liar relatif lebih aman dari pantauan petugas yang berwenang
dan identitas pelaku yang tidak dapat atau mudah diketahui;
4.
Pengawasan
dan penindakan dibidang cyber crime dari aparat penegak hukum yang masih
kurang;
5.
Masih
rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian
satwa liar.
Aktifitas masyarakat lainnya terhadap satwa
liar yang akhir-akhir ini sering meresahkan di media sosial adalah meningkatnya
aksi pamer hasil perburuan terhadap satwa liar.
Berbagai kasus yang mencuat di media sosial merupakan bagian dari “
demam Selfi “ para netizen atau
masyarakat yang aktif di media sosial dengan tujuan untuk memamerkan segala
bentuk aktifitas yang tanpa disadari melanggar norma-norma atau etika bahkan
hukum sekalipun khususnya dalam kasus perburuan satwa liar. Para netizen seakan-akan merasa bangga dan
berlomba-lomba untuk selalu mengunggah aksi kontroversial terkait dengan
perburuan satwa liar. Aksi-aksi tersebut
tentunya akan semakin marak dilakukan jika tidak mendapat penindakan dan
pengawasan dari aparat yang berwenang.
Satwa liar akan semakin terancam dari kepunahan sebagai akibat dari
aksi-aksi perburuan dengan tujuan untuk “gagahan” atau pamer di media sosial. Perburuan satwa liar yang sifatnya untuk di
konsumsi dan diperdagangkan saja sudah sangat mengkhawatirkan terhadap
kelestarian satwa liar, apalagi jika ditambah dengan tujuan hanya sekedar untuk
dipamerkan di media sosial.
Selama Tahun 2015, ProFauna Indonesia mencatat menerima ±
200-an pengaduan perburuan liar, sekitar
90 persen pengaduan yang dilaporkan tentang foto aksi perburuan dan hasil perburuan
satwa yang diunggah di media sosial. Foto yang diunggah umumnya menampilkan
pelaku membawa satwa hasil buruan dan senjata yang digunakan. Dari 90 % laporan
tersebut, Pro Fauna mencatat terdapat sekitar empat kasus perburuan online yang
berlanjut di tingkat kepolisian antara lain kasus pembantaian kucing hutan di
Jember, pembantaian beruang madu di Kalimantan Timur, pembunuhan Harimau
Sumatera di Sumatera Utara, dan pembunuhan dan pembakaran primata di Kalimantan
Tengah. Hanya saja, semua kasus tak ada yang bergulir hingga ke pengadilan
karena alasan kurang bukti dan hingga saat ini belum ada yang dijatuhi hukuman. Beberapa kasus lain yang mencuat di media
sosial terkait aksi pamer hasil buruan satwa liar di media sosial dan belum
mendapat respon dari aparat penegak hukum antara lain :
1. Aksi pamer Kucing hutan (Felis bengalensis), Beruang madu dan
Burung elang yang dipajang di Facebook milik mahasiswi Universitas Jember,
Ida Tri Susanti, yang mengunggah satwa liar tersebut pada tanggal 12 September
2015;
2. Aksi pamer hasil buruan satwa liar
jenis satwa dwarf cuscus atau kuskus kerdil sulawesi (Strigocuscus
celebensis) dan Masupial (hewan berkantong) yang merupakan endemik
Sulawesi yang di unggah di Facebook oleh akun Aldhy
Manopo pada tanggal 7 September 2015.
ProFauna
mencatat sebagian besar pelaku pemburu satwa liar adalah pemuda yang aktif
menggunakan jejaring sosial. Mereka menggunakan Facebook dan media sosial lain
untuk berinteraksi dalam komunitas satwa tertentu.
Dampak negatif media sosial yang
lain terhadap satwa liar adalah dampak secara tidak langsung yaitu berupa makin maraknya perdagangan
peralatan berburu satwa liar berupa senjata, perangkap, jerat, racun, peralatan
berburu lainnya baik yang masih tradisional maupun peralatan berburu yang
modern. Aktifitas perdagangan peralatan
berburu nyaris tidak terendus atau terbaca oleh petugas yang berwenang maupun
oleh lembaga peduli satwa lainnya seperti lembaga Pro Fauna. Hal ini kemungkinan disebabkan karena aparat
maupun lembaga pro satwa liar hanya fokus pada kasus yang secara nyata
melibatkan korban satwa liar sehingga hampir tidak pernah diberitakan maupun
dianalisa secara khusus mengenai dampak dari maraknya perdagangan peralatan
berburu terhadap satwa liar. Selain itu
pula juga kemungkinan disebabkan karena regulasi tentang peralatan berburu yang
belum diatur atau tidak tersosialisasikan dengan luas ke masyarakat, aparat
penegak hukum maupun lembaga pemerhati satwa liar. Oleh karenanya, hal tersebut juga perlu
menjadi perhatian karena dampaknya juga akan bermuara pada peningkatan
aktifitas perburuan satwa liar.
Selain itu pula, dampak negatif
media sosial secara tidak langsung terhadap satwa liar juga dapat berupa makin
mudahnya atau meningkatnya pertukaran informasi atau transfer pengetahuan tentang
teknik-teknik berburu dan teknik-teknik penyeludupan satwa liar. Pada kasus
ini, secara otomatis akan sangat sulit terlacak oleh aparat penegak hukum dan
masyarakat maupun di proses hukum karena tidak memiliki dasar hukum. Sementara proses transfer pengetahuan atau
ilmu tentu akan selalu dilakukan dengan menggunakan media sosial oleh para
komunitas pemburu maupun para jaringan perdagangan atau penyeludup satwa
liar. Sehingga dampak tidak langsung
terhadap satwa liar adalah makin meningkatnya aktifitas perburuan dan
perdagangan atau penyeludupan satwa liar.
Gambar 1. Foto kucing hutan satwa dilindungi,
hasil buruan yang diunggah di akun Ida Tri Susanti. Sumber: Facebook
Gambar
2. Kuskus kerdil sulawesi (Strigocuscus celebensis) dan Masupial (hewan
berkantong) yang di
unggah di Facebook oleh akun Aldhy Manopo.
Sumber: Facebook
D.
Upaya Pencegahan,
Penindakan Dan Konservasi Satwa Liar Melalui Media Sosial
Dampak media sosial terhadap
satwa liar sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan awal adalah dapat
berdampak positif dan berdampak negatif.
Oleh karenanya, diperlukan upaya-upaya konservasi satwa liar yang lebih
aplicable atau aplikatif dalam implementasinya.
Upaya-upaya konservasi satwa liar tersebut dapat dilakukan melalui media
sosial maupun secara langsung di lapangan atau lingkungan sosial. Upaya
konservasi tersebut dapat berupa :
1.
Merevisi
regulasi atau peraturan perundangan tentang konservasi satwa liar (UU No 5 tahun 1990 tentang KSDAE, PP No. 8
Pemanfaatan jenis TSL, PP No 7 tentang pengawetan satwa liar).
Peraturan perundangan atau regulasi saat
ini perlu disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika kondisi sumberdaya alam,
teknologi, ilmu pengetahuan dan pertumbuhan populasi manusia. Beberapa hal yang
perlu diinput dalam revisi regulasi antara lain pengaturan cyber crime satwa
liar, aturan perdagangan online, pengaturan perburuan, penertiban quota
perdagangan satwa liar dan pengelolaan konservasi satwa liar secara terpadu.
2.
Penegakan
hukum yang konsisten, konsekuen dan kontinyu.
Waryono
(2001) menyatakan bahwa beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penegakan
hukum adalah :
(a). Konsekuen; Penindakan hukum
dilakukan dimana saja dan tidak ada diskriminasi atau penindakan hukum
dilakukan terhadap semua golongan.
(b). Konsisten; Penindakan hukum
yang dilakukan terhadap sesuatu objekharus terus
dilakukan.
Tidak boleh objek tersebut akhirnya menjadi sesuatu yang dilegalkan, kecuali terjadi
peraturan perundang-undangan berubah.
(c). Kontinyu; Penindakan harus dilakukan secara
berkesinambungan, tidak hanya pada
saat-saat operasi tertentu saja.
3.
Peningkatan
penyuluhan dan sosialisasi secara langsung di masyarakat maupun melalui media
massa (media sosial, media cetak, media elektronik) tentang koservasi satwa
liar.
4.
Penyediaan
dan pembangunan sarana dan prasarana penunjang kegiatan konservasi satwa liar.
E. Kesimpulan
Berdasarkan hasil uraian dan
pembahasan dalammakalah ini, dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1.
Media
sosial dapat berdampak positif maupun negatif terhadap satwa liar;
2.
Dampak
negatif media sosial terhadap satwa liar khususnya yang berupa perdagangan
online dan aksi pamer atau selfie hasil buruan satwa liar semakin meningkat
sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan dan penegakan hukum;
3.
Masih
kurangnya pengetahuan, pemahaman dan kesadaran sebagian masyarakat dan para
penegak hukum tentang perlunya kelestarian dan konservasi satwa liar.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 2015. Sejarah Perkembangan Internet Di Indonesia.
Available online: http://www.pattascomputer.org/sejarah-perkembangan-internet-di-indonesia/
Buol. RA. 2015. Lagi, Pemburu Satwa Liar Sulawesi Utara
Memamerkan Hasil Buruan di Jejaring Sosial.
Available Online : http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/09/lagi-pemburu-satwa-liar-sulawesi-uatara-memamerkan-hasil-buruan-di-jejaring-sosial.
Pitaloka,
D.A. 2015. Aktivis catat 5000 kasus perdagangan satwa liar via online; Penegakan hukum yang lemah tidak
membuat pelaku jera. Available
online : http://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/86704-jejak-perdangan-ilegal-satwa-liar-di-surabaya.
Riski P. 2015. ProFauna: Unggahan
Foto Buruan Satwa di Media Sosial, Bukti Rendahnya Budi Pekerti Kita. Availble online
: http://www.mongabay.co.id/2015/10/22/profauna-unggahan-foto-buruan-satwa-di-media-sosial-bukti-rendahnya-budi-pekerti-kita/
Waryono T. 2001. Aspek Pngendalian Perdagangan Ilegal Sata Liar Yng Dilindungi Di Propinsi
DKI Jakarta. Available online: www.google.com;
Wijayanti. M. 2015. Perkembangan Tekonologi Komunikasi (Media
Sosial). Available online : http://mitawijayanti12.blogspot.co.id/2015/02/perkembangan-teknologi-komunikasi-media.
html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar