Minggu, 27 Maret 2016

EKSISTENSI HUTAN LINDUNG DAN HUBUNGANNYA DENGAN INTENSITAS KEGIATAN PEMBANGUNAN WILAYAH DI PULAU WANGI-WANGI KABUPATEN WAKATOBI

EKSISTENSI HUTAN LINDUNG DAN HUBUNGANNYA DENGAN INTENSITAS KEGIATAN PEMBANGUNAN WILAYAH 

DI PULAU WANGI-WANGI  KABUPATEN WAKATOBI

Jimi Purnama Putra S¹
¹Mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
 

 



BAB I. PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang

 

Kepulauan Wakatobi terletak di pertemuan Laut Banda dan Laut Flores. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Banda dan Pulau Buton. Di sebelah Selatan dibatasi oleh laut Flores, di sebelah  Timur oleh Laut  Banda  dan sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Buton dan Laut Flores. Secara geografis Kepulauan Wakatobi terletak antara 123°15’00’’  124°45’00’’ Bujur Timur dan 05°15’00’’ 06°10’00’’ Lintang Selatan. Nama wakatobi merupakan kependekan dari nama empat pulau besar yang ada di kawasan tersebut, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko.  Secara keseluruhan kepulauan Wakatobi terdiri dari 39 pulau, 3 gosong dan 5 atol. Terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef) dan atol.  Empat pulau utama di Kepulauan Wakatobi, yaitu Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Luas masing-masing pulau adalah Pulau  Wangi - Wangi (156,5 km²), Pulau Kaledupa (64,8 km²), Pulau Tomia (52,4 km²), dan Pulau Binongko (98,7 km²).
Kepulauan Wakatobi ditunjuk sebagai Taman Nasional Wakatobi (TNW) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.393/Kpts-II/1996 tanggal 30 Juli 1996 dan kemudian di tetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.7651/Kpts-II/2002 tanggal 19 Oktober 2002 dengan luas 1.390.000 ha.  Selanjutnya TNW dikelola dengan sistem zonasi yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan Konservasi Alam (PHKA) No. SK. 149/IV-KK/2007 tanggal 23 Juli 2007, terdiri dari: zona inti (1.300 ha), zona pemanfaatan bahari (36.450 ha), zona pariwisata (6.180 ha), zona pemanfaatan lokal (804.000 ha), zona pemanfaatan umum (495.700 ha) dan zona khusus darat (46.370 ha).
Pada awalnya, secara administratif Kepulauan Wakatobi termasuk dalam Kabupaten  Buton  Propinsi Sulawesi Tenggara yang kemudian berdasarkan UU No. 29 tahun 2003, Kepulauan Wakatobi ditetapkan menjadi kabupaten  tersendiri  yaitu  Kabupaten  Wakatobi dengan letak dan luas yang sama dengan TNW. Dengan terbentuknya Kabupaten Wakatobi tersebut, maka diperlukan koordinasi dan harmonisasi pengelolaan kawasan yaitu pengelolaan kawasan yang kolaboratif. Perlu adanya antisipasi terhadap kemungkinan tumpang tindih kebijakan dan peran dalam menggunakan ruang atau kawasan untuk kepentingan pengembangan pembangunan daerah dan ekonomi masyarakat dengan kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati.
Ibu kota Kabupaten Wakatobi berkedudukan di Pulau Wangi-Wangi yang merupakan pulau paling luas dan paling padat penduduknya jika dibandingkan dengan pulau besar lainnya seperti Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Kondisi topografi Pulau Wangi-Wangi relatif datar atau landai dan terdapat kawasan hutan yang ditetapkan sebagai hutan lindung yang tersebar di 3 (tiga) lokasi dengan luas masing-masing yaitu lokasi 1 sebesar 9,5 ha, lokasi 2 sebesar 27,38 ha dan lokasi 3 sebesar 4.830 ha.  Kawasan hutan lindung tersebut merupakan bagian dari kawasan TNW dan Kabupaten Wakatobi dan statusnya tetap sebagai kawasan hutan lindung yang ditunjuk sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 451/kpts-II/1999 tanggal 17 Juni 1999 dan selanjutnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.465/Menhut-II/2011 tanggal 9 Agustus 2011 dengan luas total ketiga lokasi tersebut ± 4.587,75 Ha. 
Pengelolaan kawasan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Wakatobi melalui Dinas Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Wakatobi.  Hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi memiliki peran atau fungsi ekonomis, sosial dan ekologis dalam menunjang aktifitas kehidupan masyarakat dan pembangunan wilayah. Namun kondisi Pulau Wangi-Wangi yang masuk dalam kategori Pulau-Pulau kecil dengan luas hutan yang lebih kecil dari areal penggunaan lainnya maka fungsi ekologis hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi memiliki peran yang sangat strategis antara lain sebagai habitat satwa dan tumbuhan, penyedia atau sumber air, mengatur iklim mikro, dan sebagai penyedia oksigen dan fungsi ekologis lainnya.  Terbentuknya Kabupaten Wakatobi dan ditempatkannya ibukota Kabupaten Wakatobi di Pulau Wangi-Wangi secara langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak atau ancaman perubahan fungsi kawasan hutan lindung sebagai imbas dari kegiatan pengembangan dan pembangunan wilayah serta peningkatan populasi penduduk di Pulau Wangi-Wangi. Ancaman perubahan fungsi atau kerusakan kawasan hutan lindung antara lain berupa pembangunan sarana dan prasarana publik, pengambilan kayu/perambahan untuk pemukiman, pembukaan areal kebun/pertanian, pembukaan jalur transportasi dan perburuan satwa. Jika tidak segera dikelola dengan prinsip lestari dan berkelanjutan maka dikhawatirkan fungsi ekologis hutan lindung akan terganggu dan berdampak pada kehidupan masyarakat di Pulau Wangi-Wangi.  Oleh karenanya diperlukan strategi dalam pengelolaan kawasan hutan lindung untuk menghindari ancaman degradasi fungsi hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi sehingga kelestarian ekosistemnya tetap terjaga dan lestari demi terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan.

B.       Rumusan Masalah


Kondisi ekosistem hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi yang terancam oleh aktifitas pembangunan dan pengembangan wilayah yang merupakan efek dari pembangunan di ibukota Kabupaten Wangi-Wangi. Masalah lain juga bersumber dari semakin meningkatnya jumlah penduduk di Pulau Wangi-Wangi dan makin meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan ke Wakatobi.  Dengan jumlah penduduk yang makin meningkat maka kebutuhan masyarakat akan konsumsi kayu untuk bangunan dan perluasan lahan pemukiman baru juga semakin meningkat.  Di sisi lain, luas hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi berkisar ± 30 % dari luas Pulau Wangi-Wangi  yang memiliki fungsi ekologis yang sangat strategis bagi masyarakat, satwa dan tumbuhan. Kondisi Pulau Wangi-Wangi yang merupakan kategori pulau-pulau kecil sangat rentan dengan ketersediaan air tawar, bahkan kondisi air tawar saat ini sudah hambar (payau).   Kondisi tersebut memerlukan kebijakan dan strategi pengelolaan hutan lindung yang selaras antara pembangunan wilayah dengan kelestarian ekosistem hutan lindung.  Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pengelolaan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi sebagai berikut :
1.        Tersediakah data potensi dan kondisi Sumberdaya alam hayati (SDAH) hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi dan berapa luas wilayah hutan lindung yang mengalami kerusakan atau perubahan fungsi?
2.        Jenis kerusakan atau gangguan terhadap hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi dan bagaimana dampak yang dirasakan oleh masyarakat dengan kerusakan ekosistem hutan lindung?
3.        Adakah hubungan kerusakan hutan lindung dengan intensitas pembangunan wilayah di Pulau Wangi-Wangi?
4.        Bagaimana strategi dan kebijakan pengelolaan hutan lindung di pulau Wangi-Wangi?

C.    Tujuan dan Outcome Makalah

Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut :
1.      Mengetahui potensi dan kondisi SDAH hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi;
2.      Mengetahui tingkat dan jenis kerusakan hutan lindung, penyebab dan dampak kerusakan hutan lindung terhadap masyarakat;
3.      Mengetahui hubungan kerusakan hutan lindung dengan peningkatan pembangunan wilayah di Pulau Wangi-Wangi;
4.      Merumuskan strategi dan kebijakan pengelolaan kawasan hutan lindung yang selaras antara pengembangan dan pembangunan wilayah dengan kelestarian SDAH.
Outcome dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Sebagai bahan masukan bagi pengelola dan stake holder lainnya dalam menentukan strategi dan kebijakan pengelolaan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi;
2.      Sebagai bahan evaluasi pengelolaan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi;
3.      Dapat mendorong para pihak untuk ikut peduli dan berpartisipasi dalam melestarikan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi.

BAB II.  LANDASAN TEORI

 

Pengelolaan kawasan lindung yang baik menurut Anonim (2012) adalah pengelolaan kawasan hutan lindung yang menjamin tidak terjadinya perubahan fungsi kawasan lindung, kepastian keberadaan lokasi kawasan lindung, pemanfaatan kawasan lindung secara lestari dan upaya perlindungan serta peningkatan fungsi kawasan lindung. Tahapan pengelolaan kawasan yang menunjang hal tersebut meliputi tahapan :
1.   Penataan Kawasan Lindung,
Penataan kawasan lindung dimasudkan sebagai kegiatan rancang bangun unit pengelolaan kawasan lindung. Mencakup pengelompokkan sumberdaya hutan sesuai dengan tipenya dan potensi yang terkandung di dalamnya dengan tujuan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari.
2.   Pengelolaan Kawasan Lindung,
Prinsip dasar pengelolaan kawasan lindung ditujukan untuk meningkatkan manfaat kawasan lindung secara lestari. Tiga pilar pengelolaan kawasan lindung lestari yakni lingkungan, sosial dan ekonomi, sebagai bentuk pengelolaan dalam meningkatkan fungsi kawasan lindung yang dapat menunjang kehidupan manusia.  Terjaminnya variabilitas ekologi, variabilitas ekonomi dan kualitas lingkungan akan berdampak terhadap terjaminnya kelestarian kawasan lindung yang dikelola. Kebijakan yang mendukung pengelolaan kawasan lindung akan sangat mendukung tercapainya kelestarian kawasan lindung.  Di sisi lain, aspek nilai etika/budaya juga sangat berpengaruh dalam sistem pengelolaan kawasan lindung. Masyarakat dengan nilai etika/budaya yang baik, akan berakibat pada terjaganya kawasan lindung. Dengan demikian, kelestarian kawasan lindung akan terjamin.
3.   Perlindungan dan Peningkatan Fungsi Kawasan lindung.
Dalam beberapa hal, kawasan lindung sering dijadikan sebagai areal cadangan untuk kegiatan budidaya yang menyebabkan kawasan lindung mengalami tekanan terhadap pengurangan luasan maupun fungsi kawasan. Oleh karena itu, kegiatan perlindungan di kawasan hutan lindung menjadi penting. Perlindungan di kawasan hutan lindung ditujukan dalam rangka melindungi kawasan tersebut dari konversi lahan, perambahan kawasan, kebakaran, penebangan liar serta penambangan liar. Kegiatan-kegiatan tersebut diprediksi dapat mengganggu fungsi pokok kawasan hutan lindung dan keanekaragaman hayati.
     Konsep pembangunan berkelanjutan menurut Emil Salim dalam Abdurahman (2003) mengemukakan ada beberapa asumsi dasar serta ide pokok yang mendasari konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu :
1.        Proses pembangunan itu mesti berlangsung secara berlanjut terus menerus di topang oleh sumberdaya alam, kualitas lingkungan dan manusia yang berkembang secara berlanjut;
2.        Sumberdaya alam terutama udara, air dan tanah memiliki ambang batas, diatas mana penggunaannya akan menciutkan kualitas dan kuantitasnya. Penciutan itu berarti berkurangnya kemampuan sumber alam tersebut untuk menopang pembangunan secara berlanjut, sehingga menimbulkan gangguan pada keserasian sumber alam dengan daya manusia.
3.        Kualitas lingkungan berkolerasi langsung dengan kualitas hidup. Semakin baik kualitas lingkungan, semakin posistif pengaruhnya pada kualitas hidup, yang antara lain tercermin pada meningkatnya kualitas fisik, pada harapan usia hidup, pada turunnya tingkat kematian dan lain sebagainya. Oleh karena itu pembangunan berkelanjutan dapat memberi pengaruh positif terhadap kualitas hidup.
4.        Pembangunan berkelanjutan mengadaikan solidaritas transgenerasi, dimana pembangunan ini memungkinkan generasi sekarang untuk meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Pada dasarnya ekowisata dapat dikembangkan dalam berbagai kawasan hutan seperti hutan produksi, lindung dan konservasI.  Sebab ekowisata tidak menjual destinasi tetapi menjual ilmu pengetahuan dan filsafat lokal atau filsafat ekosistem dan sosiosistem.  Hutan produksi, hutan lindung dan konservasi  mempunyai peluang yang sama dalam hal sebagai ilmu pengetahuan dan filsafat suatu ekosistem.  Untuk mengurangi tekanan terhadap hutan oleh masyarakat, maka dapat diberdayakan dalamkegiatan ekowisata atau wisata minat khusus (Fandeli dan Muhammad, 2005).


BAB III. PEMBAHASAN


A.    Kondisi Umum Hutan Lindung  di Pulau Wangi-Wangi

 

Sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab pendahuluan, hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis bagi kehidupan manusia, satwa dan tumbuhan. Pulau Wangi-Wangi masuk dalam kategori pulau-pulau kecil sehingga eksistensi hutan lindung sangat strategis karena merupakan satu-satunya hutan alam yang terdapat di Pulau Wangi-Wangi. Pertumbuhan dan Perkembangan Pulau Wangi-Wangi Sebagai Ibu Kota Kabupaten Wakatobi dalam kurun waktu 12 tahun terakhir pasca pembentukan Kabupaten Wakatobi sebagai daerah otonomi baru relatif pesat dan meningkat.  Peningkatan jumlah penduduk, pembangunan infrastruktur, pembukaan areal pemukiman dan ruang publik, jalur transportasi dan faktor lainnya secara tidak langsung menuntut adanya pembukaan ruang-ruang baru. Salah satu areal atau ruang yang berdampak dengan adanya peningkatan aktifitas pertumbuhan dan pembangunan adalah hutan lindung.  Sekalipun belum ada data atau kajian yang valid mengenai dampak kerusakan hutan lindung, namun secara kasat mata dapat terlihat jelas dugaan adanya beberapa kawasan yang mengalami perambahan dan perubahan fungsi. Pembukaan lahan untuk aktifitas pertanian, perumahan, fasilitas jalan, fasilitas publik, pengambilan kayu di duga terjadi dalam kawasan hutan lindung. Kondisi tersebut memang masih berdasarkan asumsi dan penglihatan secara kasat mata sehingga perlu dilakukan pengecekan secara akurat.
Perhatian terhadap kelestarian hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi dan pulau-pulau lainya sepertinya belum menjadi isu yang menarik perhatian publik atau para pihak yang berkompeten.  Isu konservasi dan lingkungan hidup di Kabupaten Wakatobi masih terfokus pada kawasan konservasi laut dan hutan mangrove karena statusnya yang menjadi bagian dari kawasan konservasi laut, sehingga sering “terabaikan” atau “luput” dari perhatian publik. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan baik yang lokal maupun nasional yang biasanya sensitif dengan isu kerusakan hutan belum menunjukan gejala perhatian terhadap kelestarian hutan lindung, semua masih terkonsentrasi pada isu kelestarian sumberdaya laut dan isu pencemaran laut. Dinas Kehutanan, Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Wakatobi yang merupakan instansi teknis pengelola kawasan hutan lindung, menurut pantauan kami “ belum ada ” langkah-langkah yang sistematis dalam upaya pencegahan dan pengelolaan yang lestari hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi.    
Saat ini dampak kerusakan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi mulai dirasakan oleh warga ibukota kabupaten Wakatobi. Dampak tersebut yaitu kekeringan atau berkurangnya sumber air bersih khususnya pada musim kemarau, air bersih yang semakin payau atau hambar dan cuaca yang semakin panas. Keluhan dan laporan dari beberapa masyarakat desa khususnya yang berada dekat kawasan telah mulai disuarakan, namun belum menjadi isu atau konsumsi publik yang ramai diperbincangkan sehingga menjadi hal yang biasa saja.  Asumsi-asumsi tersebut memang belum dapat dipastikan benar sehingga perlu dilakukan penelitian dan kajian lebih lanjut terkait dengan potensi sumberdaya alam dan hayati hutan lindung dan dampak dari kerusakan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi.
  

B.     Intensitas Pertumbuhan dan Pembangunan di Pulau Wangi-Wangi

 

Sebagaimana lazimnya suatu daerah otonomi baru, tuntutan untuk melakukan melakukan percepatan pembangunan, pelayanan publik, investasi, peningkatan pendapatan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah hal yang lumrah.  Demikian pula dengan Kabupaten Wakatobi, sejak terbentuk sebagai daerah otonomi baru pada tahun 2003, upaya percepatan pembangunan di segala bidang, pelayanan publik, investasi, peningkatan pendapatan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi target utama.  Pembangunan infrastruktur atau sarana prasarana menjadi salah satu capaian yang menjadi salah satu target pembangunan.  Pembangunan bandara, jaringan jalan, jaringan komunikasi, kantor-kantor pemerintahan, sarana publik dan pembangunan fisik lainnya khususnya di ibukota Kabupaten Wakatobi di Wangi-Wangi menjadi salah satu indikator adanya perubahan yang cukup signifikan pasca mekar dari Kabupaten Buton. Peningkatan aktifitas pembangunan fisik tentunya memerlukan ruang atau wilayah baru yang semuanya perlu diatur dengan sistematis agar tidak terjadi kekacauan tata ruang dan kerusakan lingkungan. 

Berdasarkan data profil ekonomi Kabupaten Wakatobi Tahun 2014 diketahui tingkat pertumbuhan ekonomi Kabupaten Wakatobi selama tahun 2009-2013 adalah rata-rata sebesar 10,68%. Tiga sektor pendukung utama yang memberikan andil dan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Wakatobi adalah : (1). Sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan andil rata-rata sebesar 2,87% atau memberikan kontribusi rata-rata 26,57%, (2). Sektor jasa-jasa dengan andil rata-rata sebesar 1,93% atau memberikan kontribusi rata-rata 19,06%, (3). Sektor pertanian dengan andil rata-rata sebesar 1,71% atau memberikan kontribusi rata-rata 15,48%. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita Kabupaten Wakatobi 2009 – 2013 menurut harga berlaku adalah rata-rata sebesar Rp. 9.945.915,- dan menurut harga konstan rata-rata sebesar Rp. 3.065.372,- dengan pertumbuhan rata-rata masing-masing sebesar 15,36% dan 10,07%. Hal ini mencerminkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Wakatobi dari tahun ketahun semakin membaik.
Kabupaten Wakatobi selain statusnya sebagai daerah otonomi baru juga memiliki beberapa status yang merupakan salah satu indikator kemajuan suatu daerah karena potensinya yang dimiliki antara lain sebagai kawasan konservasi laut (Taman Nasional Wakatobi), sebagai kawasan cagar biosfer, sebagai kawasan pengembangan pariwisata nasional dan sebagai kawasan destinasi wisata nasional.  Adanya beberapa status tersebut menjadikan Wakatobi lebih dikenal secara nasional maupun internasional jika dibandingkan dengan beberapa daerah otonomi baru khususnya dalam bidang pariwisata.  Seiring dengan potensi sumberdaya bahari yang dimiliki dan kondisi geografisnya, Pemerintah Kabupaten Wakatobi memprioritaskan sektor pariwisata dan perikanan sebagai sektor unggulan dibandingkan sektor yang lain.  Khusus sektor pariwisata menunjukan tingkat pertumbuhan yang relatif meningkat setiap tahunnya yang ditandai dengan makin meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan ke Wakatobi baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara.  Khusus di Pulau Wangi-Wangi sebagai ibukota kabupaten, magnet pariwisata sangat menggeliat yang ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan hotel, penginapan, resort wisata, usaha rental mobil, usaha jasa wisata menyelam dan rumah makan. Peningkatan pembangunan sarana prasarana, peningkatan jumlah penduduk, peningkatan jumlah wisatawan dan peningkatan  pertumbuhan ekonomi khususnya di Pulau Wangi-Wangi secara tidak langsung akan semakin membutuhkan ruang wilayah baru sehingga diperlukan suatu sistem perencanaan yang biasa dikenal dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

 

C.    Strategi Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung di Pulau Wangi-Wangi

Beatly (1994) dalam hakim (2004) menyatakan bahwa pembangunan suatu kawasan sebagai akibat dari pertumbuhan populasi manusia dan kebutuhan  hidup yang menyertainya tidak bisa dihindari.  Seringkali, pertumbuhan ekonomi kawasan yang diikuti pembangunan fisik, alih guna lahan dan perubahan bentang alam mengancam keberadaan  bentuk –bentuk keanekaragaman hayati. Konflik ini semakin tajam dan menjadi isu-isu penting di dunia.  Negara-negara berkembang dengan tingkat kekayaan hayati yang tinggi merupakan kawasan yang banyak mengalami penyusutan dan kepunahan keanekaragaman hayati.  Suatu konsep untuk menjembatani pembangunan kawasan tanpa harus mengorbankan keanekaragaman hayati di sekitarnya secara intensif didiskusikan dan dirumuskansebagai konsep pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development).
Pada kasus pengelolaan hutan lindung dalam hubungannya dengan intensitas pembangunan wilayah di Pulau Wangi-Wangi, saat ini perlu segera dilakukan secara terpadu dan terstruktur mengingat fungsinya yang sangat strategis dan laju pertumbuhan dan pembangunan kota Wangi-Wangi yang semakin meningkat pesat. Ditetapkannya Peraturan daerah tentang RTRW Kabupaten Wakatobi pada tanggal 5 November 2012 dapat dianggap sebagai titik atau pintu awal dalam pengelolaan hutan lindung yang lebih intensif karena batasan-batasan dalam tata kelola ruang wilayah Kabupaten Wakatobi telah diatur dalam RTRW sebagai dasar dalam pelaksanaan pembangunan wilayah. Sehingga kekhawatiran akan adanya penyerobotan lahan atau kawasan hutan lindung untuk peruntukan pemanfaatan lain tidak akan terjadi. Upaya-upaya pengelolaan kawasan hutan lindung yang konkrit perlu segera dilakukan untuk memastikan kelestarian hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi.  Salah satu yang sering menjadi kelemahan pengelolaan hutan lindung di Indonesia adalah tidak adanya unit khusus pengelola kawasan hutan lindung sehingga banyak kawasan hutan lindung yang  “tidak jelas “ pengelolaannya.  Ketidakjelasan yang dimaksud adalah tidak adanya anggaran pengelolaan dan rencana pengelolaan kawasan hutan yang menjadi pedoman dalam pengelolaan kawasan hutan lindung.  Oleh karenanya sebagai langkah awal pengelolaan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi perlu dibentuk satu unit khusus pengelola kawasan yaitu kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL). 
Jika KPHL telah terbentuk, maka terdapat beberapa agenda prioritas yang perlu segera dilakukan untuk melestarikan kembali hutan lindung Pulau Wangi-Wangi antara lain sebagai berikut :
1.    Melakukan pengecekan kembali tata batas (pal batas) kawasan hutan lindung;
2.    Menyelesaikan “konflik” penggunaan lahan hutan lindung untuk areal pertanian/perkebunan masyarakat, pemukiman maupun untuk pembangunan sarana prasarana publik jika terbukti masuk dalam kawasan hutan lindung;
3.    Melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada seluruh stakeholder terkait dengan status dan fungsi hutan lindung;
4.    Melakukan penanaman atau penghijauan kembali areal hutan lindung yang mengalami kerusakan;
5.    Menyusun rencana pengelolaan kawasan hutan lindung jangka pendek, jangkah menengah dan jangka panjang dengan mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan nomor : p.47/menhut-ii/2013 tentang  pedoman, kriteria dan standar pemanfaatan hutan di wilayah tertentu pada kesatuan pengelolaan hutan lindung dan kesatuan pengelolaan hutan produksi.
Dukungan Para Pihak Dalam Pengelolaan Hutan Lindung
            Seakan sudah menjadi trend beberapa tahun belakangan ini, pengelolaan suatu kawasan konservasi hutan perlu dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait dengan pengelolaan kawasan hutan.  Begitupula dengan pengelolaan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi perlu dilakukan secara kolaboratif dengan masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pemda Wakatobi, lembaga penegak hukum dan instansi teknis lainnya.  Pengelolaan kolaboratif menjadi penting dilaksanakan untuk mendapatkan dukungan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung. Upaya membangun kesadaran para pihak untuk ikut serta dalam menjaga kelestarian hutan lindung perlu konsistensi dan komitmen kuat dari pengelola kawasan hutan lindung.  Komunikasi dengan masyarakat dan koordinasi dengan instansi dan lembaga terkait perlu dibangun untuk mendapatkan masukan dan dukungan pengelolaan kawasan hutan lindung.  Upaya mendapatkan dukungan dan simpati publik atau para pihak terhadap upaya pelestarian hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi dapat pula dilaksanakan dengan sosialisasi dan penyuluhan ke masyarakat dan ke sekolah-sekolah.  Pembuatan media sosialisasi dan penyuluhan yang kreatif  dapat lebih mudah diserap dan dipahami masyarakat dan siswa sekolah.

Pemanfaatan Hutan Lindung Yang Lestari dan Berkelanjutan
Pengelolaan kawasan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi tentu tidak terlepas dari 3 prinsip konservasi sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem (KSDAE) yaitu (1) Perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; (3) Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan ekosistemnya. Prinsip perlindungan dan pengawetan pada perkembangannya relatif stabil dalam implementasinya sedangkan prinsip pemanfaatan relatif dinamis karena akan selalu mendapat tekanan, tuntutan dan kritikan dari manusia atau masyarakat yang ingin memanfaatkan kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya, pola-pola pemanfaatan kawasan hutan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip lestari dan berkelanjutan selalu dinamis mengikuti perkembangan peradaban manusia.  Jika berkaca pada kondisi hutan lindung dan geografis Pulau Wangi-Wangi serta trend pertumbuhan dan perkembangan Kabupaten Wakatobi maka pemanfaatan hutan lindung hanya cocok untuk kegiatan ekowisata.    Prioritas pemanfaatan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi untuk kegiatan ekowisata dibangun dengan tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan, yaitu pilar ekonomi, pilar sosial budaya, dan pilar kelestarian lingkungan (ekologi).
Konsep kegiatan ekowisata di Hutan lindung Pulau Wangi-Wangi tidak semata-mata bertujuan agar wisatawan atau masyarakat dapat menikmati keindahan alam atau keunikan flora dan fauna saja tetapi juga mencoba memahami dan menghayati proses-proses yang terdapat di alam yang mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan dinamis. Kegiatan wisata memanfaatkan potensi alam apa adanya dengan tetap menjaga kelestarian ekosistem yang ada. Kegiatan ekowisata yang memiliki peluang untuk dikembangkan di hutan lindung Pulau Wangi-Wangi antara lain pengamatan satwa (jenis burung dan satwa lainnya), jungle traking, olah raga dan bina cinta alam.  Sebagai salah satu destinasi pariwisata nasional, kunjungan wisatawan ke Kabupaten Wakatobi/Taman nasional Wakatobi relatif meningkat setiap tahunnya.  Tidak semua wisatawan yang datang ke Kabupaten Wakatobi/Taman Nasional Wakatobi hanya untuk menikmati panorama keindahan bawah laut, tetapi juga ingin menikmati potensi wisata di daratan.  Sehingga dari sisi potensi pemanfaatan hutan lindung untuk menunjang kesejahteraan masyarakat dan pendapatan daerah dapat disumbang dari pengembangan ekowisata hutan lindung.  Tentunya konsep ini perlu perencanaan yang sistematis dari pengelola kawasan hutan lindung dan dukungan oleh para pihak atau stakeholder yang ada di Pulau Wangi-Wangi agar terwujud harmonisasi antara intensitas pembangunan dan kelestarian hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi.

BAB IV.  KESIMPULAN DAN SARAN

A.      Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.        Belum adanya data yang valid terkait data potensi sumberdaya alam hayati (SDAH) dan tingkat kerusakan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi yang kemungkinan disebabkan karena belum adanya  unit pengelola khusus kawasan hutan lindung;
2.        Kerusakan Hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi diduga disebabkan karena  adanya aktifitas penebangan liar, pembukaan areal hutan untuk kebun masyarakat, pemukiman dan pembanguan fasilitas publik seperti bandara, kantor pemerintah dan jalan;
3.        Kerusakan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi yang dirasakan oleh masyarakat berdampak pada kurangnya persediaan air pada musim kemarau, kualitas air tawar semakin payau (hambar) dan suhu udara yang semakin panas;
4.        Konsep pemanfaatan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi yang selaras dengan intensitas pembangunan wilayah adalah pengelolaan kolaboratif dan pengembangan ekowisata berbasis masyarakat.

B.       Saran
Tindak lanjut yang perlu segera dilaksanakan terkait upaya melestarikan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi adalah membentuk unit khusus pengelola kawasan yang akan merumuskan kebijakan pengelolaan kawasan dalam bentuk rencana pengelolaan kawasan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawaan Lindung Dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat.  Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat dan Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB. Bandung.
Anonim.  2014. Wakatobi Dalam Angka 2014.  Badan Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi.  Wangi-Wangi.
Anonim. 2014.  Laporan Statistik 2014 Balai Taman Nasional Wakatobi.  Balai Taman Nasional Wakatobi.  Baubau.
Fandeli dan Muhammad. 2005.  Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Taman Nasional. Fahutan dan Pusat Studi Pariwiata UGM. Yogyakarta.
Hakim Lukman. 2004.  Dasar-Dasar Ekowisata. Bayumedia Publishing. Malang.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perjalanan Perdana Kendari-Wanci Via Kapwl Laut

Hari ini perjalanan perdana Kendari-Wanci via kapal laut yang cukup mendapatkan perhatian khusus dari saya. Bukan apa2, kesempatan ini suda...