EKSISTENSI HUTAN
LINDUNG DAN HUBUNGANNYA DENGAN INTENSITAS KEGIATAN PEMBANGUNAN
WILAYAH
DI
PULAU WANGI-WANGI KABUPATEN WAKATOBI
Jimi Purnama Putra S¹
¹Mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kepulauan Wakatobi terletak
di pertemuan Laut Banda
dan Laut Flores. Di sebelah utara berbatasan dengan
Laut Banda dan Pulau Buton. Di sebelah Selatan dibatasi oleh laut Flores, di sebelah Timur oleh Laut Banda
dan sebelah Barat berbatasan dengan
Pulau Buton dan Laut Flores. Secara
geografis Kepulauan Wakatobi terletak
antara 123°15’00’’
– 124°45’00’’ Bujur Timur dan 05°15’00’’ – 06°10’00’’ Lintang Selatan. Nama wakatobi merupakan
kependekan dari nama empat pulau besar yang ada di kawasan tersebut, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa,
Pulau Tomia dan Pulau Binongko.
Secara keseluruhan kepulauan
Wakatobi terdiri dari 39 pulau, 3 gosong
dan 5 atol. Terumbu karang di kepulauan
ini terdiri dari karang
tepi (fringing reef), gosong
karang (patch reef) dan atol. Empat pulau utama di Kepulauan
Wakatobi, yaitu Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko.
Luas masing-masing pulau adalah Pulau
Wangi - Wangi (156,5 km²), Pulau Kaledupa (64,8 km²), Pulau
Tomia (52,4 km²), dan Pulau Binongko
(98,7 km²).
Kepulauan Wakatobi ditunjuk sebagai Taman Nasional Wakatobi (TNW)
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.393/Kpts-II/1996 tanggal 30 Juli 1996 dan kemudian di tetapkan berdasarkan Keputusan
Menteri Kehutanan No.7651/Kpts-II/2002 tanggal 19 Oktober 2002 dengan luas
1.390.000 ha. Selanjutnya
TNW dikelola dengan sistem zonasi yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan Konservasi Alam (PHKA) No. SK. 149/IV-KK/2007
tanggal 23 Juli 2007, terdiri dari: zona inti (1.300 ha), zona pemanfaatan
bahari (36.450 ha), zona pariwisata (6.180 ha), zona pemanfaatan lokal (804.000
ha), zona pemanfaatan umum (495.700 ha) dan zona khusus darat (46.370 ha).
Pada awalnya,
secara administratif Kepulauan Wakatobi
termasuk dalam Kabupaten
Buton
Propinsi Sulawesi Tenggara
yang kemudian berdasarkan UU No. 29 tahun 2003, Kepulauan Wakatobi ditetapkan menjadi kabupaten tersendiri yaitu Kabupaten Wakatobi dengan letak dan luas yang sama dengan TNW. Dengan terbentuknya Kabupaten Wakatobi tersebut, maka diperlukan koordinasi dan harmonisasi pengelolaan
kawasan yaitu pengelolaan kawasan yang kolaboratif. Perlu adanya antisipasi terhadap kemungkinan tumpang tindih kebijakan
dan peran dalam menggunakan ruang atau kawasan untuk kepentingan pengembangan pembangunan daerah dan ekonomi masyarakat dengan kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati.
Ibu kota Kabupaten Wakatobi berkedudukan
di Pulau Wangi-Wangi yang merupakan pulau paling luas dan paling padat
penduduknya jika dibandingkan dengan pulau besar lainnya seperti Pulau
Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Kondisi topografi Pulau Wangi-Wangi
relatif datar atau landai dan terdapat kawasan hutan yang ditetapkan sebagai hutan
lindung yang tersebar di 3 (tiga) lokasi dengan luas masing-masing yaitu lokasi
1 sebesar 9,5 ha, lokasi 2 sebesar 27,38 ha dan lokasi 3 sebesar 4.830 ha. Kawasan hutan lindung tersebut merupakan
bagian dari kawasan TNW dan Kabupaten Wakatobi dan statusnya tetap sebagai kawasan hutan lindung yang
ditunjuk sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan Nomor 451/kpts-II/1999 tanggal 17 Juni 1999 dan
selanjutnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.465/Menhut-II/2011
tanggal 9 Agustus 2011 dengan luas
total ketiga lokasi tersebut ± 4.587,75 Ha.
Pengelolaan
kawasan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Wakatobi melalui Dinas Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan Kabupaten
Wakatobi. Hutan lindung di Pulau
Wangi-Wangi memiliki peran atau fungsi ekonomis, sosial dan ekologis dalam menunjang aktifitas kehidupan masyarakat dan
pembangunan wilayah. Namun kondisi Pulau
Wangi-Wangi yang masuk dalam kategori Pulau-Pulau kecil dengan luas hutan yang
lebih kecil dari areal penggunaan lainnya maka fungsi ekologis hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi memiliki peran yang
sangat strategis antara lain sebagai habitat satwa dan
tumbuhan, penyedia atau sumber air, mengatur iklim mikro, dan sebagai penyedia
oksigen dan fungsi ekologis lainnya. Terbentuknya Kabupaten Wakatobi dan
ditempatkannya ibukota Kabupaten Wakatobi di Pulau Wangi-Wangi secara langsung
atau tidak langsung akan memberikan dampak atau ancaman perubahan fungsi
kawasan hutan lindung sebagai imbas dari kegiatan pengembangan dan pembangunan
wilayah serta peningkatan populasi penduduk di Pulau Wangi-Wangi. Ancaman
perubahan fungsi atau kerusakan kawasan hutan lindung antara lain berupa
pembangunan sarana dan prasarana publik, pengambilan kayu/perambahan untuk
pemukiman, pembukaan areal kebun/pertanian, pembukaan jalur transportasi dan
perburuan satwa. Jika tidak
segera dikelola dengan prinsip lestari dan berkelanjutan maka dikhawatirkan fungsi
ekologis hutan lindung akan terganggu dan berdampak pada kehidupan masyarakat
di Pulau Wangi-Wangi. Oleh
karenanya diperlukan strategi dalam pengelolaan kawasan hutan lindung untuk
menghindari ancaman degradasi fungsi hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi
sehingga kelestarian ekosistemnya tetap terjaga dan lestari demi terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan.
B. Rumusan Masalah
Kondisi
ekosistem hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi yang terancam oleh aktifitas
pembangunan dan pengembangan wilayah yang merupakan efek dari pembangunan di
ibukota Kabupaten Wangi-Wangi. Masalah
lain juga bersumber dari semakin meningkatnya jumlah penduduk di Pulau
Wangi-Wangi dan makin meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan ke Wakatobi. Dengan jumlah penduduk yang makin meningkat
maka kebutuhan masyarakat akan konsumsi kayu untuk bangunan dan perluasan lahan
pemukiman baru juga semakin meningkat. Di
sisi lain, luas hutan
lindung di Pulau
Wangi-Wangi berkisar ± 30 % dari
luas Pulau Wangi-Wangi yang memiliki
fungsi ekologis yang sangat strategis bagi masyarakat, satwa dan tumbuhan. Kondisi Pulau Wangi-Wangi yang merupakan kategori
pulau-pulau kecil sangat rentan dengan ketersediaan air tawar, bahkan kondisi
air tawar saat ini sudah hambar (payau).
Kondisi tersebut memerlukan
kebijakan dan strategi pengelolaan hutan lindung yang selaras antara
pembangunan wilayah dengan kelestarian ekosistem hutan lindung. Berdasarkan uraian diatas maka dapat
dirumuskan beberapa
permasalahan pengelolaan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi sebagai berikut :
1.
Tersediakah data
potensi dan kondisi Sumberdaya alam
hayati (SDAH) hutan lindung di Pulau
Wangi-Wangi dan berapa
luas wilayah hutan lindung yang mengalami kerusakan atau perubahan fungsi?
2.
Jenis
kerusakan atau gangguan terhadap hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi dan bagaimana
dampak yang dirasakan oleh masyarakat dengan kerusakan ekosistem hutan lindung?
3.
Adakah
hubungan kerusakan hutan lindung dengan intensitas pembangunan wilayah di Pulau
Wangi-Wangi?
4.
Bagaimana
strategi dan kebijakan pengelolaan hutan lindung di pulau Wangi-Wangi?
C.
Tujuan dan Outcome
Makalah
Tujuan dari penulisan makalah ini
antara lain sebagai berikut :
1. Mengetahui potensi dan
kondisi SDAH hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi;
2. Mengetahui tingkat dan jenis kerusakan hutan
lindung, penyebab
dan dampak kerusakan hutan lindung terhadap masyarakat;
3. Mengetahui hubungan kerusakan hutan lindung dengan
peningkatan pembangunan wilayah di Pulau Wangi-Wangi;
4. Merumuskan
strategi dan kebijakan pengelolaan kawasan hutan lindung yang selaras antara
pengembangan dan pembangunan wilayah dengan kelestarian SDAH.
Outcome
dari makalah
ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai
bahan masukan bagi pengelola dan stake holder lainnya dalam menentukan strategi
dan kebijakan pengelolaan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi;
2. Sebagai
bahan evaluasi pengelolaan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi;
3. Dapat
mendorong para pihak untuk ikut peduli dan berpartisipasi dalam melestarikan
hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi.
BAB II. LANDASAN TEORI
Pengelolaan kawasan lindung yang baik menurut Anonim (2012) adalah
pengelolaan kawasan hutan lindung yang menjamin tidak terjadinya perubahan
fungsi kawasan lindung, kepastian keberadaan lokasi kawasan lindung,
pemanfaatan kawasan lindung secara lestari dan upaya perlindungan serta
peningkatan fungsi kawasan lindung. Tahapan pengelolaan kawasan yang menunjang
hal tersebut meliputi tahapan :
1. Penataan Kawasan Lindung,
Penataan kawasan lindung dimasudkan sebagai kegiatan
rancang bangun unit pengelolaan kawasan lindung. Mencakup pengelompokkan
sumberdaya hutan sesuai dengan tipenya dan potensi yang terkandung di dalamnya
dengan tujuan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara
lestari.
2. Pengelolaan Kawasan Lindung,
Prinsip dasar pengelolaan kawasan lindung ditujukan untuk
meningkatkan manfaat kawasan lindung secara lestari. Tiga pilar pengelolaan
kawasan lindung lestari yakni lingkungan, sosial dan ekonomi, sebagai bentuk
pengelolaan dalam meningkatkan fungsi kawasan lindung yang dapat menunjang
kehidupan manusia. Terjaminnya variabilitas ekologi,
variabilitas ekonomi dan kualitas lingkungan akan berdampak terhadap
terjaminnya kelestarian kawasan lindung yang dikelola. Kebijakan yang mendukung
pengelolaan kawasan lindung akan sangat mendukung tercapainya kelestarian
kawasan lindung. Di sisi lain, aspek
nilai etika/budaya juga sangat berpengaruh dalam sistem pengelolaan kawasan
lindung. Masyarakat dengan nilai etika/budaya yang baik, akan berakibat pada
terjaganya kawasan lindung. Dengan demikian, kelestarian kawasan lindung akan
terjamin.
3. Perlindungan
dan Peningkatan Fungsi Kawasan lindung.
Dalam beberapa hal, kawasan lindung sering dijadikan
sebagai areal cadangan untuk kegiatan budidaya yang menyebabkan kawasan lindung
mengalami tekanan terhadap pengurangan luasan maupun fungsi kawasan. Oleh
karena itu, kegiatan perlindungan di kawasan hutan lindung menjadi penting.
Perlindungan di kawasan hutan lindung ditujukan dalam rangka melindungi kawasan
tersebut dari konversi lahan, perambahan kawasan, kebakaran, penebangan liar
serta penambangan liar. Kegiatan-kegiatan tersebut diprediksi dapat mengganggu
fungsi pokok kawasan hutan lindung dan keanekaragaman hayati.
Konsep pembangunan berkelanjutan
menurut Emil Salim dalam Abdurahman (2003) mengemukakan ada beberapa asumsi
dasar serta ide pokok yang mendasari konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu :
1.
Proses
pembangunan itu mesti berlangsung secara berlanjut terus menerus di topang oleh
sumberdaya alam, kualitas lingkungan dan manusia yang berkembang secara
berlanjut;
2.
Sumberdaya
alam terutama udara, air dan tanah memiliki ambang batas, diatas mana penggunaannya
akan menciutkan kualitas dan kuantitasnya. Penciutan itu berarti berkurangnya
kemampuan sumber alam tersebut untuk menopang pembangunan secara berlanjut,
sehingga menimbulkan gangguan pada keserasian sumber alam dengan daya manusia.
3.
Kualitas
lingkungan berkolerasi langsung dengan kualitas hidup. Semakin baik kualitas
lingkungan, semakin posistif pengaruhnya pada kualitas hidup, yang antara lain
tercermin pada meningkatnya kualitas fisik, pada harapan usia hidup, pada
turunnya tingkat kematian dan lain sebagainya. Oleh karena itu pembangunan
berkelanjutan dapat memberi pengaruh positif terhadap kualitas hidup.
4.
Pembangunan
berkelanjutan mengadaikan solidaritas transgenerasi, dimana pembangunan ini
memungkinkan generasi sekarang untuk meningkatkan kesejahteraannya, tanpa
mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan
kesejahteraannya.
Pada dasarnya ekowisata dapat dikembangkan dalam berbagai
kawasan hutan seperti hutan produksi, lindung dan konservasI. Sebab ekowisata tidak menjual destinasi
tetapi menjual ilmu pengetahuan dan filsafat lokal atau filsafat ekosistem dan
sosiosistem. Hutan produksi, hutan
lindung dan konservasi mempunyai peluang
yang sama dalam hal sebagai ilmu pengetahuan dan filsafat suatu ekosistem. Untuk mengurangi tekanan terhadap hutan oleh
masyarakat, maka dapat diberdayakan dalamkegiatan ekowisata atau wisata minat
khusus (Fandeli dan Muhammad, 2005).
BAB III. PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum Hutan
Lindung di Pulau Wangi-Wangi
Sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab pendahuluan, hutan lindung di
Pulau Wangi-Wangi memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis bagi
kehidupan manusia, satwa dan tumbuhan. Pulau Wangi-Wangi masuk dalam kategori
pulau-pulau kecil sehingga eksistensi hutan lindung sangat strategis karena
merupakan satu-satunya hutan alam yang terdapat di Pulau Wangi-Wangi. Pertumbuhan dan Perkembangan Pulau
Wangi-Wangi Sebagai Ibu Kota Kabupaten Wakatobi dalam kurun waktu 12 tahun
terakhir pasca pembentukan Kabupaten Wakatobi sebagai daerah otonomi baru
relatif pesat dan meningkat. Peningkatan
jumlah penduduk, pembangunan infrastruktur, pembukaan areal pemukiman dan ruang
publik, jalur transportasi dan faktor lainnya secara tidak langsung menuntut
adanya pembukaan ruang-ruang baru. Salah satu areal atau ruang yang berdampak
dengan adanya peningkatan aktifitas pertumbuhan dan pembangunan adalah hutan
lindung. Sekalipun belum ada data atau
kajian yang valid mengenai dampak kerusakan hutan lindung, namun secara kasat
mata dapat terlihat jelas dugaan adanya beberapa kawasan yang mengalami
perambahan dan perubahan fungsi. Pembukaan lahan untuk aktifitas pertanian,
perumahan, fasilitas jalan, fasilitas publik, pengambilan kayu di duga terjadi
dalam kawasan hutan lindung. Kondisi tersebut memang masih berdasarkan asumsi
dan penglihatan secara kasat mata sehingga perlu dilakukan pengecekan secara
akurat.
Perhatian terhadap kelestarian hutan lindung di
Pulau Wangi-Wangi dan pulau-pulau lainya sepertinya belum menjadi isu yang
menarik perhatian publik atau para pihak yang berkompeten. Isu konservasi dan lingkungan hidup di
Kabupaten Wakatobi masih terfokus pada kawasan konservasi laut dan hutan
mangrove karena statusnya yang menjadi bagian dari kawasan konservasi laut,
sehingga sering “terabaikan” atau “luput” dari perhatian publik. Lembaga
swadaya masyarakat (LSM) lingkungan baik yang lokal maupun nasional yang
biasanya sensitif dengan isu kerusakan hutan belum menunjukan gejala perhatian
terhadap kelestarian hutan lindung, semua masih terkonsentrasi pada isu
kelestarian sumberdaya laut dan isu pencemaran laut. Dinas Kehutanan,
Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Wakatobi yang merupakan instansi
teknis pengelola kawasan hutan lindung, menurut pantauan kami “ belum ada ”
langkah-langkah yang sistematis dalam upaya pencegahan dan pengelolaan yang
lestari hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi.
Saat ini dampak kerusakan hutan lindung di Pulau
Wangi-Wangi mulai dirasakan oleh warga ibukota kabupaten Wakatobi. Dampak
tersebut yaitu kekeringan atau berkurangnya sumber air bersih khususnya pada
musim kemarau, air bersih yang semakin payau atau hambar dan cuaca yang semakin
panas. Keluhan dan laporan dari beberapa masyarakat desa khususnya yang berada
dekat kawasan telah mulai disuarakan, namun belum menjadi isu atau konsumsi
publik yang ramai diperbincangkan sehingga menjadi hal yang biasa saja. Asumsi-asumsi tersebut memang belum dapat
dipastikan benar sehingga perlu dilakukan penelitian dan kajian lebih lanjut
terkait dengan potensi sumberdaya alam dan hayati hutan lindung dan dampak dari
kerusakan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi.
B. Intensitas
Pertumbuhan dan Pembangunan di Pulau Wangi-Wangi
Sebagaimana
lazimnya suatu daerah otonomi baru, tuntutan untuk melakukan melakukan
percepatan pembangunan, pelayanan publik, investasi, peningkatan pendapatan
daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah hal yang lumrah. Demikian pula dengan Kabupaten Wakatobi,
sejak terbentuk sebagai daerah otonomi baru pada tahun 2003, upaya percepatan
pembangunan di segala bidang, pelayanan publik, investasi, peningkatan
pendapatan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi target
utama. Pembangunan infrastruktur atau
sarana prasarana menjadi salah satu capaian yang menjadi salah satu target
pembangunan. Pembangunan bandara,
jaringan jalan, jaringan komunikasi, kantor-kantor pemerintahan, sarana publik
dan pembangunan fisik lainnya khususnya di ibukota Kabupaten Wakatobi di
Wangi-Wangi menjadi salah satu indikator adanya perubahan yang cukup signifikan
pasca mekar dari Kabupaten Buton. Peningkatan aktifitas pembangunan fisik
tentunya memerlukan ruang atau wilayah baru yang semuanya perlu diatur dengan
sistematis agar tidak terjadi kekacauan tata ruang dan kerusakan
lingkungan.
Berdasarkan data profil ekonomi Kabupaten Wakatobi Tahun 2014 diketahui
tingkat pertumbuhan ekonomi Kabupaten Wakatobi selama tahun 2009-2013 adalah
rata-rata sebesar 10,68%. Tiga sektor pendukung utama yang memberikan andil dan
kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Wakatobi adalah : (1). Sektor
perdagangan, hotel dan restoran dengan andil rata-rata sebesar 2,87% atau
memberikan kontribusi rata-rata 26,57%, (2). Sektor jasa-jasa dengan andil
rata-rata sebesar 1,93% atau memberikan kontribusi rata-rata 19,06%, (3).
Sektor pertanian dengan andil rata-rata sebesar 1,71% atau memberikan
kontribusi rata-rata 15,48%. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB)
perkapita Kabupaten Wakatobi 2009 – 2013 menurut harga berlaku adalah rata-rata
sebesar Rp. 9.945.915,- dan menurut harga konstan rata-rata sebesar Rp.
3.065.372,- dengan pertumbuhan rata-rata masing-masing sebesar 15,36% dan
10,07%. Hal ini mencerminkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten
Wakatobi dari tahun ketahun semakin membaik.
Kabupaten Wakatobi selain statusnya sebagai daerah otonomi baru juga
memiliki beberapa status yang merupakan salah satu indikator kemajuan suatu
daerah karena potensinya yang dimiliki antara lain sebagai kawasan konservasi
laut (Taman Nasional Wakatobi), sebagai kawasan cagar biosfer, sebagai kawasan
pengembangan pariwisata nasional dan sebagai kawasan destinasi wisata
nasional. Adanya beberapa status
tersebut menjadikan Wakatobi lebih dikenal secara nasional maupun internasional
jika dibandingkan dengan beberapa daerah otonomi baru khususnya dalam bidang
pariwisata. Seiring dengan potensi
sumberdaya bahari yang dimiliki dan kondisi geografisnya, Pemerintah Kabupaten
Wakatobi memprioritaskan sektor pariwisata dan perikanan sebagai sektor
unggulan dibandingkan sektor yang lain. Khusus
sektor pariwisata menunjukan tingkat pertumbuhan yang relatif meningkat setiap
tahunnya yang ditandai dengan makin meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan ke
Wakatobi baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Khusus di Pulau Wangi-Wangi sebagai ibukota
kabupaten, magnet pariwisata sangat menggeliat yang ditandai dengan
meningkatnya pertumbuhan hotel, penginapan, resort wisata, usaha rental mobil,
usaha jasa wisata menyelam dan rumah makan. Peningkatan pembangunan sarana
prasarana, peningkatan jumlah penduduk, peningkatan jumlah wisatawan dan
peningkatan pertumbuhan ekonomi khususnya
di Pulau Wangi-Wangi secara tidak langsung akan semakin membutuhkan ruang
wilayah baru sehingga diperlukan suatu sistem perencanaan yang biasa dikenal dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW).
C. Strategi Pengelolaan Kawasan
Hutan Lindung di Pulau Wangi-Wangi
Beatly
(1994) dalam hakim (2004) menyatakan bahwa pembangunan suatu kawasan sebagai
akibat dari pertumbuhan populasi manusia dan kebutuhan hidup yang menyertainya tidak bisa
dihindari. Seringkali, pertumbuhan
ekonomi kawasan yang diikuti pembangunan fisik, alih guna lahan dan perubahan
bentang alam mengancam keberadaan bentuk
–bentuk keanekaragaman hayati. Konflik ini semakin tajam dan menjadi isu-isu
penting di dunia. Negara-negara
berkembang dengan tingkat kekayaan hayati yang tinggi merupakan kawasan yang
banyak mengalami penyusutan dan kepunahan keanekaragaman hayati. Suatu konsep untuk menjembatani pembangunan
kawasan tanpa harus mengorbankan keanekaragaman hayati di sekitarnya secara
intensif didiskusikan dan dirumuskansebagai konsep pembangunan yang
berkelanjutan (Sustainable Development).
Pada
kasus pengelolaan hutan lindung dalam hubungannya dengan intensitas pembangunan
wilayah di Pulau Wangi-Wangi, saat ini perlu segera dilakukan secara terpadu
dan terstruktur mengingat fungsinya yang sangat strategis dan laju pertumbuhan
dan pembangunan kota Wangi-Wangi yang semakin meningkat pesat. Ditetapkannya
Peraturan daerah tentang RTRW Kabupaten Wakatobi pada tanggal 5 November 2012
dapat dianggap sebagai titik atau pintu awal dalam pengelolaan hutan lindung
yang lebih intensif karena batasan-batasan dalam tata kelola ruang wilayah Kabupaten
Wakatobi telah diatur dalam RTRW sebagai dasar dalam pelaksanaan pembangunan
wilayah. Sehingga kekhawatiran akan adanya penyerobotan lahan atau kawasan
hutan lindung untuk peruntukan pemanfaatan lain tidak akan terjadi. Upaya-upaya
pengelolaan kawasan hutan lindung yang konkrit perlu segera dilakukan untuk
memastikan kelestarian hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi. Salah satu yang sering menjadi kelemahan
pengelolaan hutan lindung di Indonesia adalah tidak adanya unit khusus
pengelola kawasan hutan lindung sehingga banyak kawasan hutan lindung yang “tidak jelas “ pengelolaannya. Ketidakjelasan yang dimaksud adalah tidak
adanya anggaran pengelolaan dan rencana pengelolaan kawasan hutan yang menjadi
pedoman dalam pengelolaan kawasan hutan lindung. Oleh karenanya sebagai langkah awal
pengelolaan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi perlu dibentuk satu unit khusus
pengelola kawasan yaitu kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL).
Jika KPHL
telah terbentuk, maka terdapat beberapa agenda prioritas yang perlu segera
dilakukan untuk melestarikan kembali hutan lindung Pulau Wangi-Wangi antara
lain sebagai berikut :
1.
Melakukan pengecekan kembali tata batas (pal batas)
kawasan hutan lindung;
2.
Menyelesaikan “konflik” penggunaan lahan hutan
lindung untuk areal pertanian/perkebunan masyarakat, pemukiman maupun untuk
pembangunan sarana prasarana publik jika terbukti masuk dalam kawasan hutan
lindung;
3.
Melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada seluruh
stakeholder terkait dengan status dan fungsi hutan lindung;
4.
Melakukan penanaman atau penghijauan kembali areal
hutan lindung yang mengalami kerusakan;
5.
Menyusun rencana pengelolaan kawasan hutan lindung
jangka pendek, jangkah menengah dan jangka panjang dengan mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan nomor :
p.47/menhut-ii/2013 tentang pedoman,
kriteria dan standar pemanfaatan hutan di wilayah tertentu pada kesatuan
pengelolaan hutan lindung dan kesatuan pengelolaan hutan produksi.
Dukungan Para Pihak Dalam Pengelolaan Hutan Lindung
Seakan sudah menjadi trend beberapa tahun belakangan ini,
pengelolaan suatu kawasan konservasi hutan perlu dilakukan secara kolaboratif
dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait dengan pengelolaan kawasan
hutan. Begitupula dengan pengelolaan
hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi perlu dilakukan secara kolaboratif dengan masyarakat,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pemda Wakatobi, lembaga penegak hukum dan
instansi teknis lainnya. Pengelolaan
kolaboratif menjadi penting dilaksanakan untuk mendapatkan dukungan dalam
pengelolaan kawasan hutan lindung. Upaya membangun kesadaran para pihak untuk
ikut serta dalam menjaga kelestarian hutan lindung perlu konsistensi dan
komitmen kuat dari pengelola kawasan hutan lindung. Komunikasi dengan masyarakat dan koordinasi
dengan instansi dan lembaga terkait perlu dibangun untuk mendapatkan masukan
dan dukungan pengelolaan kawasan hutan lindung. Upaya mendapatkan dukungan dan simpati publik
atau para pihak terhadap upaya pelestarian hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi
dapat pula dilaksanakan dengan sosialisasi dan penyuluhan ke masyarakat dan ke
sekolah-sekolah. Pembuatan media
sosialisasi dan penyuluhan yang kreatif dapat
lebih mudah diserap dan dipahami masyarakat dan siswa sekolah.
Pemanfaatan Hutan Lindung Yang Lestari dan Berkelanjutan
Pengelolaan kawasan hutan
lindung di Pulau Wangi-Wangi tentu tidak terlepas dari 3 prinsip konservasi sebagaimana
yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam dan Ekosistem (KSDAE) yaitu (1) Perlindungan sistem penyangga
kehidupan; (2) Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya; (3) Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan ekosistemnya. Prinsip
perlindungan dan pengawetan pada perkembangannya relatif stabil dalam
implementasinya sedangkan prinsip pemanfaatan relatif dinamis karena akan
selalu mendapat tekanan, tuntutan dan kritikan dari manusia atau masyarakat
yang ingin memanfaatkan kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh
karenanya, pola-pola pemanfaatan kawasan hutan yang berlandaskan pada
prinsip-prinsip lestari dan berkelanjutan selalu dinamis mengikuti perkembangan
peradaban manusia. Jika berkaca pada
kondisi hutan lindung dan geografis Pulau Wangi-Wangi serta trend pertumbuhan
dan perkembangan Kabupaten Wakatobi maka pemanfaatan hutan lindung hanya cocok
untuk kegiatan ekowisata. Prioritas pemanfaatan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi untuk kegiatan ekowisata dibangun dengan tiga pilar dasar pembangunan berkelanjutan, yaitu pilar
ekonomi, pilar sosial budaya, dan pilar kelestarian lingkungan (ekologi).
Konsep kegiatan ekowisata di
Hutan lindung Pulau Wangi-Wangi tidak semata-mata
bertujuan agar wisatawan atau masyarakat dapat menikmati
keindahan alam atau keunikan flora dan fauna saja tetapi juga mencoba memahami
dan menghayati proses-proses yang terdapat di alam yang mewujudkan keserasian,
keselarasan dan keseimbangan dinamis. Kegiatan wisata memanfaatkan potensi alam
apa adanya dengan tetap menjaga kelestarian ekosistem yang ada. Kegiatan ekowisata yang memiliki
peluang untuk dikembangkan di hutan lindung Pulau Wangi-Wangi antara lain pengamatan
satwa (jenis burung dan satwa lainnya), jungle traking, olah
raga dan bina cinta alam. Sebagai salah satu destinasi
pariwisata nasional, kunjungan wisatawan ke Kabupaten Wakatobi/Taman nasional
Wakatobi relatif meningkat setiap tahunnya.
Tidak semua wisatawan yang datang ke Kabupaten Wakatobi/Taman Nasional
Wakatobi hanya untuk menikmati panorama keindahan bawah laut, tetapi juga ingin
menikmati potensi wisata di daratan.
Sehingga dari sisi potensi pemanfaatan hutan lindung untuk menunjang
kesejahteraan masyarakat dan pendapatan daerah dapat disumbang dari
pengembangan ekowisata hutan lindung.
Tentunya konsep ini perlu perencanaan yang sistematis dari pengelola
kawasan hutan lindung dan dukungan oleh para pihak atau stakeholder yang ada di
Pulau Wangi-Wangi agar terwujud harmonisasi antara intensitas pembangunan dan
kelestarian hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi.
BAB IV. KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut
:
1.
Belum
adanya data yang valid terkait data potensi sumberdaya alam hayati (SDAH) dan
tingkat kerusakan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi yang kemungkinan
disebabkan karena belum adanya unit pengelola
khusus kawasan hutan lindung;
2.
Kerusakan
Hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi diduga disebabkan karena adanya aktifitas penebangan liar, pembukaan
areal hutan untuk kebun masyarakat, pemukiman dan pembanguan fasilitas publik
seperti bandara, kantor pemerintah dan jalan;
3.
Kerusakan
hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi yang dirasakan oleh masyarakat berdampak
pada kurangnya persediaan air pada musim kemarau, kualitas air tawar semakin
payau (hambar) dan suhu udara yang semakin panas;
4.
Konsep
pemanfaatan hutan lindung di Pulau Wangi-Wangi yang selaras dengan intensitas
pembangunan wilayah adalah pengelolaan kolaboratif dan pengembangan ekowisata
berbasis masyarakat.
B. Saran
Tindak
lanjut yang perlu segera dilaksanakan terkait upaya melestarikan hutan lindung di
Pulau Wangi-Wangi adalah membentuk unit khusus pengelola kawasan yang akan
merumuskan kebijakan pengelolaan kawasan dalam bentuk rencana pengelolaan
kawasan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 2012. Kriteria dan Indikator Pengelolaan Kawaan
Lindung Dalam Rangka Perwujudan Green Province Jawa Barat. Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat dan
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB. Bandung.
Anonim. 2014.
Wakatobi Dalam Angka 2014. Badan Pusat
Statistik Kabupaten Wakatobi.
Wangi-Wangi.
Anonim. 2014.
Laporan Statistik 2014 Balai Taman Nasional Wakatobi. Balai Taman Nasional Wakatobi. Baubau.
Fandeli dan Muhammad. 2005.
Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Taman Nasional. Fahutan
dan Pusat Studi Pariwiata UGM. Yogyakarta.
Hakim Lukman. 2004. Dasar-Dasar
Ekowisata. Bayumedia Publishing. Malang.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar