Rabu, 16 Oktober 2019

RINGKASAN SEJARAH KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SATWA LIAR DI INDONESIA


Untuk memudahkan dalam memahami sejarah konservasi dan pengelolaan satwa liar di Indonesia maka uraian ringkasan dibagi dalam 3 masa atau zaman yaitu :
A.  ZAMAN KERAJAAN NUSANTARA
Pada zaman kerajaan nusantara, konservasi dan pengelolaan satwa liar pada dasarnya telah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia.  Banyak budaya bangsa Indonesia yang hingga saat ini masih menjadi peninggalan sejarah dalam pengelolaan dan konservasi satwa liar. Misalnya adanya kawasan-kawasan adat maupun jenis-jenis satwa yang dilindungi dan pemanfaatannya diatur sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi.  Perburuan yang biasa dilakukan oleh para bangsawan kerajaan tetap diatur sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi.  Beberapa peristiwa yang tercatat dalam sejarah antara lain :
1.        Pada abad ke-14 dimasa kerajaan Majapahit perburuan satwa babi, rusa dan satwa liar lainnya sering menjadi olah raga dan atraksi yang menarik bagi para bangsawan kerajaan;
2.        Pada abad ke-16 yaitu pada awal kedatangan portugis di Indonesia, penulis Portugis Tom Pires dan Duarte Barbosa memuji raja-raja Jawa sebagai olahragawan besar dan pemburu dan penunggang kuda terampil, yang menghabiskan sebagian besar waktu berburu mereka. Sekitar 1600, para pangeran dari Jawa Barat dan Jawa Tengah semua disebutkan sebagai pemburu;
3.        Pada abad ke-17, penguasa Mataram (Jawa Tengah) memiliki permainan berburu rusa dan aturan main dalam berburu. Aturan main tersebut juga bisa ditemukan di abad XVII dan XVIII di Jawa Barat, Sumatera dan Sulawesi Selatan. Banyak dari aturan main tersebut masih bertahan sampai abad kesembilan belas

B.  ZAMAN KOLONIAL BELANDA
Pada masa ini, pengelolaan dan konservasi satwa liar juga dipengaruhi dari aktifitas atau kebiasaan berburu yang menjadi permainan dan digemari oleh para bangsawan kerajaan nusantara maupun bangsawan Belanda.  Akibat dari aktifitas berburu yang semakin meningkat dan populasi satwa liar buruan semakin berkurang maka menjadi dasar ditetapkannya beberapa kawasan lindung.  Pada masa kolonial Belanda terdapat beberapa peristiwa yang menjadi catatan sejarah dalam konservasi dan pengelolaan satwa liar di Indonesia antara lain :
1.        Pemikiran konservasi di Indonesia kolonial (Hindia Belanda) dikembangkan di akhir abad kesembilan belas dari kesadaran akan pentingnya burung dalam mengendalikan hama pertanian. Pada awal abad kedua puluh, Belanda juga merasa tekanan untuk hidup sampai 'kewajiban internasional' di alam kelestarian. paternalisme kolonial memicu kekhawatiran dan kerusakan sosial dari konsekuensi adanya perburuan yang masif terhadap burung Cenderawasih di bagian barat  Papua New Guinea
2.        Pada tahun 1867, masih ada lima permainan berburu yang besar di Priangan, dengan luas area berburul sekitar 12.000 hektar yang banyak terdapat species rusa, babi hutan, badak, dan kadang-kadang harimau. Antara 1870-an dan 1910-an permainan berburu ini menghilang, terutama karena kerajaan Priangan telah kehilangan statusnya yang khusus pada saat itu dan juga karena tekanan dari klaim adat dan Eropa yang meningkat;
3.        Pada abad ke-19 dan ke-20, perburuan rusa serupa di lokasi permainan berburu dapat ditemukan di Kalimantan, Halmahera, Lombok, dan Timor. Terdapat 2 dua contoh arena berburu yang baik di Jawa. Yang pertama diciptakan oleh Van Reede tot de Parkeier, seorang penggemar berburu yang tidak biasa yang kemudian menghilang pada tahun 1801, ketika Van Reede diberhentikan. Yang kedua dan lebih menarik adalah Cikepuh, hutan  untuk berburu di Priangan barat daya (Jawa Barat), yang telah disewakan pada 1899 untuk sebuah asosiasi pemburu Eropa dengan nama Venatoria. Pemburu tertarik di daerah ini karena masih terdapat sejumlah besar banteng. Itu menyatakan bahwa, di bawah pengelolaan asosiasi, stok banteng telah meningkat dari 150 pada 1899 ke 700 di tahun 1906.
4.        Pada abad ke-19 hutan masih tertutup sebagian besar dari luas permukaan di Indonesia, dan Belanda telah mencoba beberapa kali sepanjang abad untuk membangun Dinas Kehutanan di Jawa. Dua usaha pertama telah berumur pendek (1808-1811, 1816-1826), tetapi pada tahun 1865 sebuah Dinas Kehutanan diciptakan. Pada tahun 1908, petugas hutan pertama untuk Provinsi Outer diangkat. Setelah tahun 1865, pemerintah juga mengeluarkan sejumlah peraturan Forest, yang membawa peningkatan proporsi dari hutan di bawah wewenang Dinas Kehutanan. Sekitar tahun 1890, Dinas Kehutanan telah memperoleh pengalaman yang cukup dan tenaga, dan kerangka kerja hukum yang kondusif untuk pelaksanaan yang tepat dari tugas utamanya, yaitu eksploitasi berkelanjutan hutan Jati Jawa (Tectona grandis).
5.        Pada tahun 1889, sebuah cagar alam dari 240 ha dibuat yang berdekatan dengan Botanical Gunung Gardens of Cibodas (Priangan). Kawasan lindung ini didedikasikan khusus untuk research ilmiah. Selain itu pula ,pada dasarnya terdapat dapat banyak lokasi-lokasi/kawasan hutan yang dikeramatkan, sakral atau dianggap suci oleh penduduk pribumi dan bangsaan kerajaan nusantara sehingga secara tidak langsung prinsip konservasi telah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia tanpa pengaruh dari Belanda.
6.        Tahun 1896, PJ van Houten dan MC Piepers kedua jurnalis, menulis tentang kekhawatiran sejumlah spesies lokal terancam punah yaitu anggrek, burung cendrawasih, burung merak jawa, pheasant argus, badak dan banteng (sapi liar) dan orang utan.  Pada tahun 1896, publikasi dimulai secara berkala De Lev ende Natuur (Living Nature), sehingga pada tahun 1901 didirikan Nederlandsche Natuurhistorische Vereeniging (Belanda Society for Natural History). konservasi alam adalah salah satu tujuannya secara eksplisit dinyatakan, tetapi lebih sebagai suatu ideal dari sebagai program aksi konkret.
7.        Pada tahun 1898 pemerintah kolonial menunjuk seorang ahli zoologi spesialis, J. C. Koningsberger, untuk menyelidiki Jawa avifauna dan nilai ekonominya, tetapi penelitiannya tidak sepenuhnya diterbitkan hingga 1909.  Meskipun Koningsberger akhirnya dibujuk untuk memberikan daftar kelompok jenis burung yang terancam punah, yang tercermin dalam Struktur 1910 Ordonansi untuk Melindungi Mamalia dan Burung tertentu yang merupakan upaya hukum pertama untuk melindungi satwa liar di Nusantara.
8.        Pada tahun 1906, Masyarakat pecinta lingkungan membeli Naarder Lake, sehingga menciptakan cagar alam pertama di Belanda dan pada tahun 1913, Masayarakat Hindia Belanda membuat cagar alam di Indonesia yaitu hutan kecil (6 ha) di Depok dekat Batavia.
9.        Pada tahun 1919, cagar alam dibuat diluar Jawa. Sejak saat itu cagar alam baru diciptakan secara teratur sampai tahun 1949, tahun terakhir di bawah pemerintahan Belanda, dengan luas sekitar 2,5 juta ha. Wildlife Protection Ordonansi 1909 merilis terlalu banyak spesies yang terancam punah tanpa perlindungan kelonggaran aturan. Para Konservasionis menyuarakan perlindungan bagi sejumlah hewan 'populer', seperti orangutan [Sumatera, Kalimantan], dan burung-burung tanpa henti diburu seperti burung Cenderawasih dan Kakatua jambul kuning sejenis merpati (dari genus Labu) [Irian], yang banyak dieksploitasi untuk pembuatan topi wanita di Eropa.
10.    Pada tahun 1922, sebuah Keputusan pemerintah melarang perburuan burung cendrawasih (kecuali yang kuning) dan merpati jambul. Wildlife Protection dan Otoritas perburuan, pada tanggal 1924 melakukan upaya baru untuk melindungi sejumlah spesies yang terancam punah dan spesies serangga di seluruh Nusantara. Hewan yang dilindungi terdiri dari 8 spesies mamalia (di antara orangutan) dan 53 spesies kelompok burung. Selain itu, diberikan perlindungan untuk badak Jawa dan siamang keperakan (Jawa) dan di Provinsi luar jawa untuk 11 spesies tambahan yaitu gajah.
11.    Tahun 1924 otoritas perburuan juga memperkenalkan lisensi menembak yang berlaku di Jawa saja, yang kemudian menyebar di luar jawa. Pada tahun 1930, parlemen Belanda disahkan dengan suara bulat untuk mendesak pemerintah Belanda untuk membuat suaka margasatwa lebih, untuk membatasi atau bahkan melarang berburu dalam kasus tertentu, dan untuk menempatkan larangan total pada ekspor satwa yang dilindungi, hidup atau mati. Tahun 1925 terdapat  sekelompok orang yang berpengaruh, terutama tertarik pada konservasi di Indonesia.  Mereka gencar dalam kritik mereka dari pemerintah Hindia Belanda, yang menurut mereka melakukan terlalu sedikit terlambat. Komisi ingin pemerintah kolonial untuk membangun cagar alam yang besar, khususnya di Kalimantan dan Sumatera. pengaruh mereka dirasakan dalam penciptaan Indrapura Puncak / Kerinci Cadangan (sekarang bagian dari besar Kerinci-Seblat Cadangan) dan Gunung Leuser Cadangan (sekarang Taman Nasional Gunung Leuser), baik dalam Sumatra. 
12.    Tahun 1909 dan 1924 peraturan melarang kepemilikan satwa yang dilindungi, dan oleh karena itu dengan implikasi ekspor mereka, petugas bea cukai belum memadai diperintahkan untuk membuat klausul ini efektif. larangan ekspor bulu dan kulit dari semua burung liar dan mamalia, dan gading gajah di bawah lima kilogram. Jumlah mamalia dilindungi non dan burung yang dapat diekspor pada satu waktu untuk satu tujuan juga dibatasi. Dikecualikan dari ekspor-larangan yang menyembunyikan karnivora predator (harimau, macan tutul, anjing liar) dan babi hutan (bukan babi rusa).
13.    Sebuah artikel dalam jurnal ilmiah menguraikan lebih dari 120 kawasan lindung yang dihuni satwa liar dan tumbuhan didirikan pada tahun 1919 yang terdiri  dari satu pohon (Getas), gua (Nglirip, Ulucangko), jeram (Bantimurung), naturalis makam Junghuhn ini (dekat Lembang), atau sebuah situs arkeologi (Bungamas Kikim). Ada empat pengecualian, yaitu gunung berapi Krakatao termasuk sebuah pulau yang berdekatan (2.500 ha); Tangkoko Batuangus (Sulawesi, 4450 ha); dataran tinggi Bromo-Tengger (Jawa, 5.250 ha); dan cadangan Lorentz di New Guinea [Irian], meliputi sekitar 320.000 ha. Cadangan terakhir ada murni di atas kertas, karena pada saat itu Belanda baru saja mulai membangun otoritas mereka di Irian. Hanya cadangan yang lebih kecil, yang terletak di kawasan yang dikendalikan oleh Dinas Kehutanan, dapat dijaga secara efektif.
14.    Catatan singkat tentang Nusa Kambangan, sebuah pulau kecil, lepas pantai selatan Jawa Tengah; disebutkan pada 1608 sebagai tempat pembuangan, digunakan oleh penguasa pertama Mataram. Belanda melanjutkan tradisi ini dengan mengirimkan tahanan politik dari Aceh ke pulau, dan itu tetap sebuah pulau penjara setelah kemerdekaan, baik di bawah Lama dan Orde Baru. Hal itu membuat sebuah pulau penjara yang baik karena tidak pernah menarik banyak pemukim permanen, yang, apalagi, sering diusir oleh bajak laut. Pulau ini juga sebagian 'tanah suci', karena itu salah satu dari sedikit tempat di mana wijaya kusuma bunga (Pisonia grandis) dapat ditemukan, bunga itu hanya akan digunakan untuk upacara penobatan penguasa Mataram. 40 karena kombinasi faktor, pulau itu sebagian besar ditutupi oleh hutan hujan dataran rendah relatif tidak terganggu, mengandung banyak langka (mis wijaya kusuma dan Rafflesia Patma), kadang-kadang bahkan spesies endemik. Masyarakat, oleh karena itu, diusulkan pada tahun 1916 untuk mengubah bagian dari pulau itu menjadi sebuah cagar alam. Permintaan itu dikabulkan pada tahun 1923, sebagian karena beberapa pejabat diasumsikan bahwa penduduk asli akan menguntungkan terkesan dengan acara seperti bunga di 'tempat suci' oleh pemerintah, sebagian karena pemerintah ingin menyingkirkan dari beberapa non-narapidana yang tinggal di pulau pula. 
15.    Beberapa tanaman dan hewan yang lebih cocok sebagai simbol ini nilai-sistem dari yang lain. Anggrek dan arnoldi Rafflesia terpisah, mereka tampaknya tidak telah mengajukan banding ke imajinasi konservasionis '. Anggrek sudah disebutkan sebagai 'rentan' tanaman dengan Piepers dan Van Houten pada tahun 1896. Mereka tampaknya diekspor ke Eropa dalam jumlah besar, dan beberapa spesies menjadi langka di hutan lebih mudah diakses Jawa. Agak lama kemudian mereka juga menjadi modis taman-tanaman di kota-kota di Jawa, di mana mereka bereaksi tidak baik untuk ditransplantasikan. Spesies yang paling sering disebutkan adalah Phalaenopsis amabilis, yang bulan anggrek atau bulan-anggrek dari Jawa. Pada 1930, menggila anggrek tampaknya telah mempengaruhi Sumatera dan Kalimantan juga, dan beberapa spesies lokal yang disebutkan sebagai langka atau hampir punah. Anggrek yang tunduk pada fluktuasi yang cukup besar dalam harga. Begitu yang baru diimpor, dan karena itu mahal, spesies menjadi populer, sejumlah besar itu mulai diekspor dan harga mulai turun dengan cepat. Koleksi spesies tersebut kemudian akan berhenti..
16.    Sekitar tahun 1870, burung cendrawasih telah menjadi sangat populer sehingga beberapa buku yang ditujukan untuk burung cendrawasih dari New Guinea diterbitkan. Sekitar waktu itu, perusahaan-perusahaan dagang Belanda dan Cina, maka sebagian besar terkonsentrasi di Ternate, mulai mengirim pemburu Maluku, dipersenjatai dengan senjata, ke New Guinea dan pulau-pulau sekitarnya, karena orang Papua tidak bisa memenuhi peningkatan permintaan Eropa dan standar kualitas yang tinggi , meskipun barter terus juga. Ini pemburu profesional diberi uang muka oleh pedagang. Mereka mendirikan sendiri di desa-desa Papua untuk jangka panjang, menembus ke daerah di mana kedatangan mereka membawa penduduk lokal ke dalam kontak dengan peradaban 'Barat' untuk pertama kalinya. Jerami terakhir - dari sudut pandang konservasi awal - adalah pembukaan jalur kapal uap ke New Guinea pada tahun 1897, yang difasilitasi pasokan reguler dan peningkatan bulu. Pada tahun 1894, The Royal Society of Natural Science di Hindia Belanda mendesak pemerintah di Batavia untuk mengambil tindakan. Pada tahun 1895, dua masyarakat ornitologi di Belanda mengajukan petisi kepada Menteri Koloni untuk perlindungan burung dari surga.
17.    Hewan lain yang menimbulkan banyak kekhawatiran adalah orangutan. Orangutan itu diragukan rentan dan mungkin terancam punah, setidaknya di Sumatera. Di Kalimantan, Gajah dimakan oleh beberapa kelompok masyarakat adat, dan disimpan sebagai hewan peliharaan oleh orang lain. Di Sumatera, habitatnya adalah menurun karena perluasan pertanian pribumi dan Eropa. pada awal tahun 1920 yang conversationists melaporkan bahwa orangutan di Kalimantan sekarang juga berisiko. Perlindungan datang dengan keputusan yang terpisah, pada tahun 1925, tapi butuh petugas bea cukai beberapa waktu sebelum mereka mampu menegakkan larangan ekspor yang Keputusan ini tersirat. Bahkan pada tahun 1927 sekitar 100 hewan tertangkap hidup-hidup dan diekspor sah.
18.    Satwa terancam punah lainnya adalah Komodo karena populasi yang kecil dan  dibatasi untuk dua pulau kecil antara Sumbawa dan Flores (Komodo dan Rinca), dan jalur pantai kecil di Flores. Ketika Komodo dan Rinca berada di bawah kekuasaan Manggarai, pengaturan yang sama disepakati  pada tahun 1927.
19.    Pada tahun 1931 itu termasuk dalam Perlindungan Wildlife Ordonansi gajah dan badak juga menonjol dalam publikasi mereka. Dalam kedua kasus, jumlah mereka mungkin lebih kecil dari komodo dan kemungkinan kepunahan itu nyata. Pemburu yang sama yang mendirikan, tanpa keraguan, bahwa Badak Jawa juga bisa ditemukan di Sumatera, kemungkinan dibunuh spesimen terakhir ada (1928). Badak Jawa di Jawa beberapa kali dinyatakan punah atau sebagus punah. Ini memperoleh status hewan yang dilindungi di tahun 1924. Untungnya, penciptaan Ujung Kulon sebagai kawasan lindung, dan baik dijaga pada saat itu, memastikan kelangsungan hidup hewan ini, tapi itu melarikan diri sempit dan Badak Jawa masih tergolong terancam punah.
20.    Pada tahun 1931, Gajah Sumatera ditetapkan menjadi species dilindungi oleh Kolonial Belanda. Species yang paling terancam adalah Harimau Jawa, sehingga yang paling dilindungi pada saat itu. 
C.  ZAMAN KEMERDEKAAN
Pada masa kemerdekaan, upaya konservasi dan pengelolaan populasi satwa liar dimulai pada tahu 1947 dengan penunjukan Bali Barat sebagai suaka alam baru atas prakarsa dari Raja-raja Bali Sendiri.  Kemudian pada tahun 1950 Jawatan Kehutanan RI mulai menempatkan seorang pegawai yang khusus diserahi tugas untuk menyusun kembali urusan-urusan perlindungan alam.  Pada tahun 1955, F. J. Appelman seorang rimbawan senior Indonesia menulis artikel tentang konservasi alam di Indonesia dalam majalah kehutanan Tectona.  Perhatian pemerintah mulai timbul lagi sejak tahun 1974, diawali oleh kegiatan Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam yang berhasil menyusun rencana pengembangan kawasan-kawasan konservasi di Indonesia dengan bantuan FAO/UNDP (Food and Agriculture Organization of the United Nations Development Programme), dan usaha penyelamatan satwa liar yang diancam kepunahan dengan bantuan NGO.
          Pada waktu pertemuan teknis IUCN (International Union for The Conservation of Nature and Natural Resources) ke-7 di New Delhi, India pada tanggal 25-28 November 1969, Indonesia mengirimkan beberapa utusan, diantaranya adalah Ir. Hasan Basjarudin dan Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng. Pada konferensi tersebut wakil dari Indonesia menyampaikan makalahnya dengan judul “Suaka Alam dan Taman Nasional di Indonesia: Keadaan dan permasalahannya” dan “Pendidikan Konservasi Alam di Indonesia”. Kedua makalah tersebut mendapat tanggapan positif dari peserta konferensi, sehingga perhatian dunia luar terhadap kegiatan konservasi alam di Indonesia semakin meningkat.  Pada tahun 1982 di Bali diadakan Kongres Taman Nasional Sedunia ke-3 yang melahirkan Deklarasi Bali. Terpilihnya Bali sebagai tempat kongres mempunyai dampak yang positif bagi perkembangan pengelolaan hutan suaka alam dan taman nasional di Indonesia. Pada tahun 1978 tercatat tidak kurang dari 104 jenis telah dinyatakan sebagai satwa liar dilindungi. Pada tahun 1985, keadaannya berubah menjadi 95 jenis mamalia, 372 jenis burung, 28 jenis reptil, 6 jenis ikan, dan 20 jenis serangga yang dilindungi.
Kemajuan kegiatan konservasi alam di Indonesia juga banyak dirangsang oleh adanya World Conservation Strategy, yang telah disetujui pada waktu sidang umum PBB tanggal 15 Maret 1979. Pada tahun 1983 dibentuk Departemen Kehutanan, sehingga Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam statusnya diubah menjadi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) yang tugas dan tanggung jawabnya semakin luas. Di fakultas-fakultas kehutanan dan biologi sudah mulai diajarkan ilmu konservasi alam dan pengelolaan satwa liar. Bahkan di beberapa fakultas kehutanan sudah dikembangkan jurusan Konservasi Sumber Daya Alam.  Dari segi undang-undang dan peraturan tentang perlindungan alam juga banyak mengalami kemajuan, beberapa undang-undang dan peraturan peninggalan pemerintah Hindia Belanda, telah dicabut dan diganti dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Demikian ringkasan sejarah konservasi dan pengelolaan populasi satwa liar di Indonesia yang disarikan dari beberapa sumber sebagaimana yang tercantum dalam tinjauan pustaka.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Kodra, HS.  2010.  Teknik Penglolaan Satwa Liar.  IPB Press.  Bogor. 
Boomgaard Peter. 1999.  Oriental Nature; Its Friends and Its Enemies; Conservation of Nature in Late-Colonial Indonesia, 1889-1949.  Environment and History. White Horse Press. Author .  Netherlands.
Cribb Robert,  2007.  Conservation In Colonial Indonesia.  The Australian National University.  Taylor & Francis..

PENERAPAN KEBIJAKAN PEMBENTUKAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN KOTA DI INDONESIA


A.      Uraian Kebijakan Hutan Kota

 

Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota merupakan suatu terobosan baru yang dilakukan pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan secara ekologi, sebagai pedoman dan arahan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Hutan Kota serta untuk memberikan kepastian hukum tentang keberadaan hutan kota. Penyelenggaraan hutan kota dimaksudkan untuk menjaga kelestarian, keserasian, dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya.  Sesuai tujuannya penyelenggaraan hutan kota lebih ditekankan kepada fungsinya, yaitu untuk memberbaiki dan menjaga iklim mikro, nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota, serta mendukung pelestarian keanekaragaman hayati.
Dalam PP Nomor 63 Tahun 2002 diatur luas minimal hutan kota yaitu luas hutan kota dalam suatu hamparan yang kompak paling sedikit 0,25 hektar. Persentase luas hutan kota paling sedikit 10 % dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat. Pembangunan hutan kota dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, khusus untuk DKI Jakarta pembangunan hutan kota dilaksanakan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Rencana pembangunan hutan kota merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan, dan disusun berdasarkan kajian dari aspek teknis, ekologis, ekonomis, sosial, dan budaya setempat. Biaya penyelenggaraan hutan kota berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau sumber dana lainnya yang sah.  Selanjutnya perubahan peruntukan hutan kota yang berada pada tanah negara disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan serta ditetapkan dengan Perda, untuk DKI Jakarta, perubahan peruntukan hutan kota disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta, dan ditetapkan dengan Perda. Pengelolaan hutan kota yang berada pada tanah negara dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan atau masyarakat, sedangkan yang berada pada tanah hak dilakukan oleh pemegang hak. Namun demikian pengelolaan hutan kota yang berada pada tanah hak, dapat dilakukan oleh masyarakat bukan pemegang hak atau Pemda melalui perjanjian dengan pemegang hak.
Hutan kota yang dimaksud dalam PP Nomor 63 Tahun 2002 tentang hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.  Berdasarkan tipe, maka hutan kota dibedakan dalam beberapa tipe sebagai berikut :
a.  Tipe Pemukiman  yaitu hutan kota yang dibangun pada areal permukiman, yang berfungsi sebagai penghasil oksigen, penyerap karbondioksida, peresap air, penahan angin, dan peredam kebisingan, berupa jenis komposisi tanaman pepohonan yang tinggi dikombinasikan dengan tanaman perdu dan rerumputan.
b.  Tipe Kawasan Industri yaitu hutan kota yang dibangun di kawasan industri yang berfungsi untuk mengurangi polusi udara dan kebisingan, yang ditimbulkan dari kegiatan industri.
c.  Tipe Rekreasi dan Keindahan yaitu hutan kota yang berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan rekreasi dan keindahan, dengan jenis pepohonan yang indah dan unik. Karakteristik pepohonannya pohon-pohon yang indah dan atau penghasil bunga atau buah (vector) yang digemari oleh satwa, seperti burung, kupu-kupu dan sebagainya.
d.  Tipe Pelestarian Plasma Nutfah  yaitu hutan kota yang berfungsi sebagai pelestari plasma nutfah, yaitu sebagai konservasi plasma nutfah khususnya vegetasi secara insitu dan sebagai habitat khususnya untuk satwa yang dilindungi atau yang dikembangkan. Karateristik tipe pelestarian plasma nutfah terdiri dari pohon-pohon langka dan atau unggulan setempat    
e.  Tipe Perlindungan  yaitu hutan kota yang berfungsi untuk : a. mencegah atau mengurangi bahaya erosi dan longsor pada daerah dengan kemiringan cukup tinggi dan sesuai karakter tanah; b. melindungi daerah pantai dari gempuran ombak (abrasi); c. melindungi daerah resapan air untuk mengatasi masalah menipisnya volume air tanah dan atau masalah intrusi air laut; (2) Karakteristik pepohonannya adalah pohon-pohon yang memiliki daya evapotranspirasi yang rendah dan pohon-pohon yang dapat berfungsi mengurangi bahaya abrasi pantai seperti mangrove dan pohon-pohon yang berakar kuat.   
f.  Tipe Pengamanan   yaitu hutan kota yang berfungsi untuk meningkatkan keamanan pengguna jalan pada jalur kendaraan dengan membuat jalur hijau dengan kombinasi pepohonan dan tanaman perdu. Karakteristik pepohonannya adalah pohon-pohon yang berakar kuat dengan ranting yang tidak mudah patah, yang dilapisi dengan perdu yang liat, dilengkapi jalur pisang-pisangan dan atau tanaman merambat dari legum secara berlapis lapis.     
          Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.71/Menhut-II/2009 Tahun 2009 tentang pedoman penyelenggaraan hutan kota diatur lokasi hutan kota merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) wilayah perkotaan. Ruang-ruang terbuka hijau yang telah dibentuk dapat disusun suatu jaringan RTH kota sebagai pendukung ekosistem lingkungan perkotaan yang berfungsi meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, bersih, sehat, dan indah. Dalam suatu unit ekosistem seperti kawasan Hutan Kota, ruang-ruang terbuka hijau dapat diatur berdasarkan fungsi dan penggunaannya sesuai dengan penataan tata kota dan bangunan sekitarnya.  Sesuai dengan peruntukannya, Hutan Kota dapat dibangun dalam beberapa bentuk di antaranya :
·      Ruang hijau pertamanan kota
·      Ruang hijau rekreasi kota
·      Ruang hijau stadion olah raga
·      Ruang hijau pemakaman
·      Ruang hijau pertanian
·      Ruang jalur hijau (green belt)
·      Ruang hijau taman hutan raya
·      Ruang hijau kebun binatang
·      Ruang hijau hutan lindung
·      Ruang hijau areal penggunaan lain (APL)
·      Ruang hijau kebun raya
·      Ruang hijau kebun dan halaman di lingkungan perumahan, perkantoran, pertokoan, pabrik, terminal dan, sebagainya.

B.       Dasar Argumentasi Keberhasilan Kebijakan Hutan Kota

Kebijakan pembangunan dan pengembangan hutan kota di Indonesia pasca kemerdekaan dimulai pada saat gerakan penanaman secara berkelompok yang dilakukan pemerintah pada saat menjadi tuan rumah Games of the New Emerging Forces atau yang kita kenal dengan Ganefo pada tahun 1963. Pepohonan yang ditanam di sekitar Gelora Senayan 43 tahun yang lalu masih dapat disaksikan hingga saat ini. Namun demikian, secara resmi pembangunan Hutan Kota dicanangkan oleh Pemerintah pada saat menjadi tuan rumah Kongres Kehutanan Sedunia ke-7 di Jakarta pada tahun 1978. Penanaman pohon oleh para peserta kongres di atas lahan 5 hektar di lingkungan Gedung Manggala Wanabakti menjadi patok sejarah dicanangkannya pembangunan Hutan Kota (Anonim, 2010).  Sayangnya, pasca peristiwa tersebut, gerakan pembangunan dan pengembangan hutan kota tidak berkembang baik seiring dengan makin meningkatnya pertumbuhan dan pembangunan wilayah dan peningkatan jumlah penduduk di kota-kota Indonesia.  Kebutuhan akan ruang atau wilayah untuk pemukiman, pembangunan infrastruktur dan peruntukan lainnya di masa pembangunan yang semakin intensif menyebabkan sebagian besar hutan-hutan di wilayah perkotaan mengalami perubahan fungsi atau degradasi. 

Samsoedin dan Subiandono (2006) menyatakan pembangunan infrastruktur perkotaan di Indonesia menunjukkan perencanaan yang kurang baik. Pembangunan gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, sekolah, perumahan, pabrik, dan sebagainya kurang memperhatikan aspek tata ruang kota. Kebutuhan akan pembangunan infrastruktur dan terbatasnya ketersediaan lahan nampaknya menjadi salah satu faktor terjadinya disintegrasi dalam pembangunan di perkotaan.  Konsekuensi logis atas keadaan tersebut adalah semakin sempitnya lahan yang tersisa untuk kawasan hijau.  Kondisi lingkungan hidup yang makin buruk seperti pencemaran udara, peningkatan suhu, penurunan air tanah, dan lain-lain khususnya di perkotaan menyebabkan terganggunya keseimbangan ekologi. Oleh karena itu, upaya-upaya pengendalian perlu segera dilakukan. Salah satu alternatif yang dapat memberikan dampak signifikan dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup di perkotaan adalah melalui program pembangunan dan pengelolaan Hutan Kota. 

Sejak terbitnya PP Nomor 63 Tahun 2002 tentang hutan kota dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.71/Menhut-II/2009 Tahun 2009 tentang pedoman penyelenggaraan hutan kota, jumlah hutan kota semakin bertambah.  Saat ini, di setiap kota minimal terdapat satu hutan kota meskipun data jumlah hutan kota di seluruh Indonsia belum dapat diakses sehingga informasi yang akurat tentang pertumbuhan pembangunan dan perkembangan hutan kota belum dapat diuraikan.  Namun secara nyata di beberapa kota yang sebelumnya tidak memiliki hutan kota seperti Kota Baubau dan Kota Kendari di Propinsi Sulawesi Tenggara dan kota lainnya di Indonesia, saat ini telah memiliki hutan kota.  Jika dikaji lebih mendalam khususnya jika klasifikasikan hutan kota sesuai dengan peruntukannya seperti ruang terbuka hijau (RTH) pertamanan, RTH rekreasi, RTH pemakaman, RTH pertanian, RTH stadion olah raga, RTH Tahura, RTH Jalur Hijau,  RTH Kebung binatang, RTH Hutan lindung, RTH Kebun raya dan RTH lainnya maka kebijakan pemerintah yang mengatur tentang perlunya pembangunan dan pengembangan hutan di setiap daerah atau kota telah diterapkan oleh pemerintah daerah.  Sekalipun secara kualitas dan kuantitas persentase persyaratan 10 % luas hutan kota dari luas wilayah kota belum terpenuhi.  

            Salah satu keberhasilan kebijakan pembangunan dan pengembangan hutan kota yang dapat dijadikan tolak ukur adalah provinsi DKI Jakarta.  Sebagai ibukota negara, Jakarta diidentikan sebagai pusat kemajuan pembangunan dan pengembangan infrastruktur wilayah yang sangat pesat sehingga rentan dengan perubahan fungsi ruang atau wilayah untuk pembangunan fisik. Namun sejak terbitnya PP Nomor 63 Tahun 2002 tentang hutan kota dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.71/Menhut-II/2009 Tahun 2009 tentang pedoman penyelenggaraan hutan kota, upaya pemerintah DKI Jakarta untuk membangun hutan kota patut diapresiasi.  Upaya penambahan luas hutan kota yang ada dan pembentukan hutan kota yang baru dengan membebaskan lahan merupakan target yang akan terus ditingkatkan hingga uas huan kota mencapai 10 % dari luas wilayah Propinsi DKI Jakarta.  Data berikut menunjukan trend pertumbuhan pembangunan dan pengembangan hutan kota di Jakarta yang dikutip dari http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/Hutan_Kota_DKI_Jakarta yaitu :
Data Jumlah Hutan Kota DKI Jakarta (tahun 2007 – 2011)
No
Kota Administrasi
Tahun
2007
(Ha)
2008
(Ha)
2009
(Ha)
2010
(Ha)
2011
(Ha)
1
Jakarta Pusat
14,48
14,48
14,48
14,48
14,48
2
Jakarta Utara
102,88
102,88
102,88
102,88
108,65
3
Jakarta Barat
15,00
15,00
15,00
17,89
17,89
4
Jakarta Timur
96,33
133,33
135,44
147,44
148,23
5
Jakarta Selatan
171,94
171,94
185,76
357,45
357,45
Jumlah Total
400,63
437,63
453,56
640,04
646,60

Pertumbuhan pembangunan dan perkembangan hutan kota di Indonesia terus meningkat tidak hanya karena tuntutan kebijakan pemerintah melalui PP Nomor 63 Tahun 2002 tentang hutan kota dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.71/Menhut-II/2009 Tahun 2009 tentang pedoman penyelenggaraan hutan kota tetapi juga karena adanya kebutuhan dari seluruh stake holder untuk mendapatkan lingkungan kota yang asri dan sehat.  Selain itu pula, isu konservasi dan lingkungan hidup yang selalu dikampanyekan oleh para pihak melalui media komunkasi menyebabkan seluruh stake holder atau publik  menjadi paham dan kesadaran meningkat sehingga ikut mengawal kebijakan pembangunan dan pengembangan hutan kota. 

C.      Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian singkat disimpulkan sebagai berikut :
1.    Kebijakan pemerintah tentang pembangunan dan pengembangan hutan kota dapat dianggap berhasil karena telah dan sedang diterapkan di seluruh kota dan daerah di Indonesia;
2.    Hutan kota yang telah dikembangkan di beberapa kota di Indonesia secara kualitas dan kuantitas masih relatif kurang dari yang dipersyaratkan di PP Nomor 63 Tahun 2002 tentang hutan kota dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.71/Menhut-II/2009 Tahun 2009 tentang pedoman penyelenggaraan hutan kota;
3.    Data yang akurat tentang pertumbuhan dan perkembangan hutan kota di Indonesia belum dapat diakses publik sehingga tidak dapat diketahui perkembangannya dengan pasti.

D.      Penutup

Demikian kajian singkat tentang keberhasilan kebijakan pemerintah tentang pembangunan dan pengembangan hutan kota. 


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Pengembangan Hutan Kota/Landskap Perkotaan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutan; Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan.  Jakarta.
Anonim.  2016. Hutan Kota Jakarta. http://jakartapedia. bpadjakarta.net/index.php/ Hutan_Kota_DKI_Jakarta
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.71/Menhut-II/2009 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kota.
Samsoedin dan Subiandono. 2006.  Pembangunan dan Pengelolaan Hutan Kota. Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang.


Perjalanan Perdana Kendari-Wanci Via Kapwl Laut

Hari ini perjalanan perdana Kendari-Wanci via kapal laut yang cukup mendapatkan perhatian khusus dari saya. Bukan apa2, kesempatan ini suda...